Bunyi rem mobil di parkiran sedikit berdecit. Lantai parkiran mengukirkan jejak ban mobil hitam itu. Rafles dengan cepat keluar. Dia berlari ke lobi rumah sakit. Mendobrak pintu dan langsung menaiki tangga darurat yang berada agak ke belakang dari lift.
Lift saat itu sangat ramai. Hari itu memang hari kunjungan khusus keluarga pasien. Sehingga, harus antrian untuk memasuki lift. Rafles menuju ruangan Andri. Dia berkeringat. Kerah bajunya terlihat basah.
Sesampainya di depan ruangan Andri, Rafles membuka cepat pintunya. Dia melonggarkan dasinya. Lalu, mengatur napasnya. Di depan, Andri berdiri tegak. Mukanya memerah menahan amarah. Ruangan yang ber-AC tiga itu seharusnya membuat Rafles tidak berkeringat. Namun, suasana hatinya berbeda. Dia harus melampiaskan emosinya kepada Andri.
Andri hanya memandang Rafles dengan senyum sinis. Dia menyilangkan tangannya di dada. Dengan sigap, Rafles menarik kerah baju depan Andri. Andri terkejut dan mukanya tegang. Tangannya menahan tangan Rafles agar tidak terlalu tercekik.
"Keparat kau!" bisik Rafles marah.
"Maksudmu?" balas Andri sedikit terbata.
"Apa rencanamu dengan Budi Jaya?"
"Aku tidak melakukan apa-apa."
"Jangan sampai anakku tahu rahasia kita di rumah sakit ini. Mengerti!" bentak Rafles melepaskan kerah baju Andri.
Andri terhempas ke belakang yang disambut kursinya. Napasnya sesak. Dia menarik dasinya agar bisa bernapas lega. Rafles mencoba mengatur emosinya. Kedua tangannya memegang pinggangnya. Rambutnya sudah acak-acakan.
Ruangan Andri terlihat panas. Andri menaikkan temperatur AC. Dia melepaskan jasnya. Sejak tadi, dia ingin pergi berkeliling karena ada kunjungan keluar pasien. Maksudnya, akan menyapa mereka. Kedatangan Rafles mengubah rencananya. Andri terhenyak.
"Aku hanya ingin berbagai informasi dengan mediamu. Apa itu salah?" kata Andri kembali.
"Kau bisa larang mereka untuk mewawancarai pasien. Gampang, 'kan?" teriak Rafles.
"Itu juga hak mereka. Kami hanya bekerjasama," tegas Andri.