Kami (bukan) Tinta Berdasi

Martha Z. ElKutuby
Chapter #23

Surat Bisu di Meja Hitam

Semilir angin terasa membawakan hawa tak enak di tubuh Niko. Dia terus berkutik dengan bahan-bahan berita politiknya yang sudah dia dapatkan di lapangan. Kali ini bukan lagi tentang Sanjaya. Ada hal lain yang akan diberitakannya sore nanti.

Bisik-bisik suara keyboard laptopnya memenuhi ruangan magang yang berukuran delapan kali 4 meter itu. Dia memandang ke sekelilingnya. Beberapa wartawan magang juga sibuk dengan bahan-bahan mereka. Niko kembali melirik layar monitor laptopnya. Jari-jari putihnya mengetik cepat.

Beberapa menit kemudia, jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Suara reporter di layar televisi ruang magang sudah berbunyi. Masih dengan reporter Sasa Halim yang bertugas untuk headline news minggu itu. Dia menyampaikan berita yang cukup mengejutkan.

Reporter Sasa menyampaikan perihal Indah yang magang di MMI News. Indah yang sudah seminggu tidak hadir di ruang magang. Tiba-tiba muncul di layar televisi MMI News.

Atas izin Gerry, Indah berencana untuk meminta maaf atas semua kesalahannya kepada penonton dan pembaca berita yang dia tulis beberapa waktu yang lalu. Indah mengakui bahwa dia sedang tertekan dan akan memperbaiki kesalahan yang dia lakukan sebelumnya.

Jari-jari Niko berhenti mengetik. Wajahnya yang semula menunduk fokus pada layar laptop kini terangkat memandang layar televisi. Dia memperhatikan lekat-lekat wajah Indah yang minta maaf di salah satu studio MMI News. Niko sekilas tersenyum haru.

"Saya selaku wartawan magang MMI News meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia yang sudah membaca berita saya," kata Indah.

Niko berdiri dengan spontan. Dia memberikan tepuk tangan ke arah layar televisi itu. Aksi Niko menjadi perhatian wartawan magang yang lainnya. Mereka bingung kenapa Niko harus begitu bangga dengan Indah. Tak lama berdiri, Niko kembali duduk.

Kring! Kriing!

Ponsel Niko berdering tiga kali. Dia melitik ke layar androidnya setelah dia menempelkan pantatnya di kursi. Nomot tak dikenal memanggilnya. Lama Niko memandang layar ponsel yang sedang hidup itu. Dengan sedikit ragu, Niko mengangkatnya.

"Saya tunggu di ruangan pimpinan redaksi, bawa sekalian pembimbing tim kamu, yaitu Gerry," suara di seberang mengejutkan Niko.

Dia belum sempat menjawab, telepon itu sudah dimatikan. Niko mulai cemas. Dia menarik kemejanya di sandaran kursi dan mengambil ranselnya di loker belakang. Dengan bergegas, dia menuju ruangan Rafles.

Lihat selengkapnya