"Ra, jangan lupa bawa perekam mini, ya. Semua kesaksian Pak Ahmad akan kita rekam," tulis Gerry di pesan singkatnya.
Rara membalasnya dengan jempol. Setelah menghabiskan susu dan roti bakarnya, Rara pergi tanpa berpamitan pada Bik Inah. Kali ini, dia naik taksi ke kantor MMI News. Perlengkapannya di kantor semua. Dari kantor, dia langsung berangkat ke rumah Pak Ahmad.
"Di depan ini saja, Pak," sahut Rara kepada sopir taksi.
"Iya, Mbak."
"Terima kasih."
Rara melangkahkan kakinya untuk keluar dari taksi. Ia memutar ranselnya ke punggung dan memperbaiki kerudungnya yang diterbangkan angin. Selesai menutup pintu taksi, ia berlari kecil ke ruang magang. Dengan senyumnya yang khas, Rara menyapa satpam kantor.
Hari itu, dia merasa sedikit bahagia karena sudah bisa memeluk ibunya. Sudah bertahun-tahun dia mengalami mimpi buruk tentang ibunya. Ibunya seolah-olah minta tolong dibebaskan dari sebuah kurungan. Selama itu pula Rara menenggak obat tidur agar dia bisa tertidur setelah mengalami mimpi buruk itu.
Malam tadi, dia tidak lagi meminum obat tidur yang dimintanya dari dokter. Pikirannya sudah mulai tenang. Hanya saja, dia sedang memikirkan kelakuan ayahnya. Rara punya prinsip sendiri. Siapa pun yang salah, baik teman atau pun keluarganya tetap dia akan bongkar.
"Hei, Ra," sapa Andi dari depan lift.
"Eh, hei," balas Rara.
"Bahagia banget pagi ini?" ledek Andi.
"Ah, biasa aja."
"Maklum 'kan Rara habus ketemu ibunya kemarin," sela Niko dari belakang mereka.
"Hoi, kaya hantu aja, datang tiba-tiba. Kamu diam napa?" celetuk Rara.
Mereka bertiga tertawa kecil. Rara berpisah dengan Andi dan Niko setelah sampai di ruang magang. Rara akan menghampiri Gerry di ruang redaktur. Ia berdiri di depan mejanya. Ada foto dia dan ayahnya yang terpajang di samping komputer kantor. Senyum mereka berdua merekah ketika selesai acara pelepasan wisuda Rara di Jepang.