Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #1

#1. Prolog

Banyak cerita menarik di dunia ini, tentang luka, kegagalan, atau keputusasaan, namun tidak semua kita dapat mengetahui apalah dari cerita, apa yang menjadikan manusia bisa berbuat salah, apakah semua karena uang, kebutuhan ekonomi, atau jalan hidup,—membuat manusia nekat melangkah ke sisi gelap.

Ada sebuah ruangan untuk mereka berkata jujur, atau menjadi tempat penyesalan mereka. Tempat itu, bukan ruang pengakuan dosa, tepatnya ruang interogasi, 1000 alasan bahkan jutaan perkataan dari para tahanan.

Hanya ada dua bangku dan satu meja di ruangan itu. setiap detik berlalu menjadi penentu nasib. Kata-kata yang terucap bisa jadi harapan, atau justru hukuman. Dan bagi mereka yang duduk di sana, sejak hari penangkapan berubah mimpi mereka. Menjadi cerita kelam.

Napi 1

Tangannya sigap mengangkat ponsel, mengarahkan kamera ke wajahnya yang cerah, penuh percaya diri. Ruangan yang seharusnya digunakan untuk menggali informasi, kini justru berubah fungsi—menjadi panggung konten YouTube. Ical, pemuda energik berusia 25 tahun, sudah lama lihai bermain di dunia media sosial. Kata-katanya mengalir tanpa henti, penuh gaya khas anak muda yang spontan dan menghibur. Dengan pengikut YouTube yang sudah menembus angka satu juta, aktivitasnya di sekitar Lembaga Pemasyarakatan justru jadi daya tarik tersendiri—konten yang aneh tapi nyata.

“Guys, gue sekarang lagi ada di ruangan... pasti kalian udah tahu dong, udah bisa nebak!” ucapnya dengan gaya santai. “Nyaman juga sih, enak, tenang. Gak kayak di film-film yang kelihatan serem gitu. Gue juga gak tahu dipanggil ke sini buat apa, mungkin mau kasih surprise ulang tahun gue kali, guys,” lanjutnya, sambil memainkan rambutnya yang agak kucel. Matanya sempat melirik ke arah tembok kaca, seakan sadar ada yang sedang mengamatinya dari balik sana.

Di balik kaca satu arah, terdengar gumaman pelan dari seseorang yang sedang memperhatikan aksi Ical. “Liat tuh, tengil. Tapi ya begitulah anak muda zaman sekarang—di mana pun pasti bikin konten buat YouTube. Ok juga sih, pasti Arif suka gaya kayak gitu,” ujarnya pelan kepada rekannya di sebelah.

Tak lama kemudian, suara langkah sepatu terdengar mendekat. Seorang wanita masuk, membawa map dan tas kotak tangannya. Ia duduk dengan tenang, lalu memberi isyarat kepada Ical untuk ikut duduk di bangku yang tersedia.

Ical tersenyum santai dan tanpa ragu bertanya, “Boleh sambil saya rekam ya, Mbak?”


Napi 2.

Namanya Bayu Satria. Usia baru menginjak 29 tahun, namun, pembawaannya memancarkan kematangan dan ketenangan dalam dirinya. Ia dikenal sebagai sosok yang percaya diri, cerdas, dan tajam dalam berbicara. Kata-katanya tak pernah bertele-tele.

Di ruang sederhana, Bayu duduk berhadapan dengan seorang wanita muda. Walau mengenakan baju tahanan berwarna oranye, dirinya tetap memancarkan pesona yang sulit diabaikan. Kulitnya kuning langsat, dan entah bagaimana, warna seragam itu justru seolah menyatu dengannya, tidak redup, melainkan mempertegas karakternya.

Tatapan mata Bayu tajam, tenang, mengamati wanita di depannya, membuka lembar demi lembar dokumen. Dari bibir wanita mulai bertanya, dan Bayu menjawab dengan lugas, nada suaranya datar namun penuh makna.

“Mana? Buku History of Western Philosophy karya Bertrand Russell, The Incoherence of the Philosophers dari Al-Ghazali, Law’s Empire tulisan Ronald Dworkin, dan Justice dari Michael Sandel! janji, bukunya mau dibawa hari ini.”

Wanita di depannya tersenyum, seolah sudah menebak reaksi itu. Dengan tenang, ia membuka tasnya, dan mengeluarkan satu per satu buku yang disebut Bayu. Tangannya terulur, menyerahkan semuanya ke Bayu, sambil tersenyum melihat ke arah Bayu. Setelah percakapan wawancara habis, Bayu pun bangkit, ia berjalan dengan santai, meskipun dinding penjara masih membatasi langkahnya.


Lihat selengkapnya