Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #6

#6. Langkah Baru Menuju Harapan

Di tempat lain, suasana di ruang Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) terasa hangat, penuh semangat, namun, tetap terarah. Seperti biasa, meja kerja dipenuhi tumpukan berkas dan secangkir kopi yang masih mengepul. Di balik meja, duduk Pak Iksan sosok Kalapas yang berwibawa namun bersahabat. Ia tampak fokus membaca dokumen, sesekali tersenyum kecil ketika menyapa staf yang lewat atau berbicara ringan melalui telepon.

Di sekeliling ruangan, para staf sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang mengetik sambil memutar musik pelan, ada pula yang hilir-mudik membawa dokumen. Di sudut ruangan, sekelompok staf tampak tengah berdiskusi, tawa kecil mereka sesekali memecah keheningan, menandai dinamika kerja yang cair tapi tetap profesional.

Di balik pintu ruang khusus Kalapas, Pak Iksan duduk tegap. Posturnya tinggi dan gemuk, kulit kuning langsat dan aroma parfumnya khas wangi dan lembut, mencerminkan ketegasan sekaligus kehangatan seorang pemimpin. Saat sedang memeriksa dokumen terakhir, seorang staf mengetuk pintu dan melaporkan bahwa Pak Arief sudah menunggu di luar.

“Oh, iya. Saya sudah siapkan semua dokumen dan surat tugas untuk Pak Arief. Bilang ke dia tunggu sebentar, Saya akan segera menemui,” jawab Pak Iksan sambil tersenyum, tanpa menghentikan aktivitasnya. Ia masih memeriksa selembar demi selembar kertas, memperhatikan semuanya lengkap.

Sambil terus menulis, ia melontarkan candaan, “Pak Ikbal, sudah siap semua calon ‘rehab’ untuk piknik dengan Pak Arief?”

Candaan itu bukan tanpa maksud. Yang dimaksud "piknik" adalah metode terapi baru yang akan diterapkan oleh Pak Arief membawa para tahanan ke sebuah desa terpencil untuk menjalani konseling penyembuhan dengan pendekatan alami, religius, dan emosional. Sebuah metode revolusioner yang menyentuh sisi spiritual manusia.

“Semua sudah siap, Pak. Nanti Saya jemput mereka kalau sudah waktunya berangkat,” jawab Ikbal, dengan lugas.

Meski tampak santai, ritme kerja di kantor tetap berjalan. Semua tahu apa yang harus dilakukan, saling bantu tanpa banyak bicara. Ruang kerja itu seperti punya napas sendiri hidup, bergerak, dan tumbuh bersama.

Beberapa saat kemudian, Pak Iksan keluar menemui Pak Arief yang tengah berdiri di ruang tamu, mengamati beberapa foto kegiatan Lapas yang terpajang di dinding. Arief tampil santai dengan kemeja dan celana jeans, tapi rapi dan siap menjalankan misinya.

“Assalamualaikum, brother Arief. Sudah siap?” sapa Pak Iksan sambil menjulurkan tangan.

“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, sudah siap. Saya sudah pelajari profil mereka, menarik. Insya Allah, mereka menemukan hal baru setelah mengikuti program ini,” jawab Arief dengan penuh keyakinan.

“Pendekatan ini semoga bisa mengubah pola pikir mereka secara lebih dalam. Tidak cuma psikologis, tapi juga emosional dan spiritual,” lanjutnya, meski tak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang menyelip di balik kalimatnya. Ia tahu, membawa para tahanan ke tempat terbuka bukan tanpa risiko bisa saja di tengah jalan mereka kabur, atau lebih buruk lagi, menghilangkan nyawanya.

Namun, Pak Iksan memberikan dorongan tidak ragu. “Rif, kita sudah lama berteman sejak kuliah. Aku percaya dengan konsepmu ini. Aku sudah siapkan semuanya. Kalau terjadi apa-apa, kau tinggal hubungi aku. Selama ini, hasil kerja kamu luar biasa. Banyak yang berubah setelah ikut rehabilitasi di yayasanmu.”

Arief tersenyum, mengangguk. “Bagaimana, Pak? Sudah siap mereka berangkat?”

“Siap,” jawab Pak Iksan, lalu memanggil staf untuk membawa para peserta program.

Tak lama kemudian, tujuh orang pemuda datang. Mereka mengenakan pakaian sederhana, beberapa dengan kaus dan jaket, tapi wajah mereka menunjukkan harapan baru meski masih terselip keraguan. Mereka sadar bahwa mereka masih berstatus tahanan ada yang tinggal setahun lagi, ada juga yang masih harus menjalani berapa tahun ke depan.

Satu per satu mereka memperkenalkan diri sambil menyalami Arief dan Kalapas. Arief memberikan dokumen kertas yang harus di tanda tangani oleh mereka, sebuah perjanjian keterkaitan prosedur dan peraturan selama mengikuti program yang di pimpin Arief. Dari wajah mereka nampak begitu serius, membaca kutipan demi kutipan mengenai surat kontrak mengenai kelanjutan hidup mereka, setelah membaca dan menandatangani kontrak partisipasi dalam program ini, bukan karena terpaksa, melainkan pasrah membiarkan waktu yang menjawab arah perubahan mereka.

Pak Iksan berdiri di hadapan mereka.

“Kalian sudah membaca dan mempertimbangkan isi perjanjian ini. Saya berharap, di sana kalian bukan cuma mengikuti program, tapi juga menemukan hal baru yang bermanfaat.”

Ia menepuk bahu Ical. “Siap, Pak,” jawab Ical dengan suara tegas, diikuti yang lain.

“Saya pamit, Pak, mumpung masih pagi,” ujar Arief. Ia menyalami Pak Iksan, diikuti oleh ketujuh pemuda yang kini resmi menjadi peserta program rehabilitasi berbasis tadabur alam. Pak Iksan tersenyum, menaruh harapan besar dalam senyap. Harapan agar mereka benar-benar berubah untuk ke depannya menapaki jalan hidup. Keamanan mengantar mereka hingga ke mobil. Tas-tas dan kebutuhan lainnya sudah disusun di bagasi. Dirasa tidak ada yang tertinggal dan semuanya sudah msuk ke dalam mobil, suara kendaraan pun sudah mulai terdegar.  

“Sudah siap semua!, Tuan-tuan? Kita akan memulai perjalanan menuju kehidupan yang baru. Ayo, kita berangkat guys Bismillahirrahmanirrahim…” ucap Arief sambil tersenyum, matanya sekilas menatap kaca spion, memastikan semua penumpangnya dalam keadaan nyaman. Dengan nada bersahabat, ia mencoba membuka percakapan, mencairkan suasana, dan menumbuhkan keakraban di dalam mobil. Tak ada nada menggurui, apalagi menghakimi, Arief ingin mereka merasakan dihargai, di perlakukan layaknya seorang kawan bukan sekadar narapidana yang sedang menjalani rehabilitasi yang mengganjal dirasakan dalam hati mereka.

Mobil mini bus berwarna putih itu sudah meninggalkan gerbang Lembaga Kemasyarakatan, pandangan arah ke jalan, Arief mulai fokus mengemudikan mobil, di bangku kiri depan, dengan santai Rudi Baon menikmati perjalanan dengan matanya tertuju ke depan, sementara kawan lainnya duduk di bangku belakang, mereka terdiam dengan pikirannya sendiri. Di luar kaca jendela, pemandangan kota mulai terbentang. Jakarta pagi itu masih sibuk, riuh kendaraan, klakson bersahutan, dan pejalan kaki yang tergesa melintasi trotoar.

Bagi Arief, perjalanan ini bukan semata soal menjalankan tugas idealisnya sebagai seorang psikolog. Lebih dari itu, ia melihat para narapidana bukan sebagai objek bimbingan, melainkan sebagai rekan seperjalanan—mereka yang tengah menapaki jalan menuju awal yang baru, yang lebih baik. Ia meyakini bahwa tembok yang memisahkan hanyalah ilusi yang menghambat perubahan, dan karena itulah ia berusaha menciptakan ruang yang bebas dari sekat, tempat semua bisa merasa setara.

Sejak pertama kali memasuki ruang Kalapas, Arief menyambut dengan senyum ramah dan tutur kata yang hangat. Suasana yang awalnya kaku perlahan mencair, berubah menjadi lingkungan yang nyaman dan terbuka. Kini, ia tak lagi memandang mereka sebagai "narapidana", melainkan sebagai mitra kerja—seseorang yang memiliki potensi, talenta, dan masa depan.

Arief percaya bahwa setiap manusia menyimpan kelebihan dalam dirinya. Hanya saja, lingkungan, pergaulan, dan keadaan hidup kadang membawa mereka pada jalan yang keliru. Namun, begitu mereka melangkah keluar dari Lembaga Kemasyarakatan, Arief benar-benar melepas atribut lama mereka. Ia tak lagi melihat masa lalu, melainkan merayakan potensi dan bakat yang ada dalam diri masing-masing.

Sosok Arief yang penuh empati, di-padu dengan kecintaan-nya pada profesi, membuatnya piawai menciptakan suasana yang hangat, cair, dan penuh harapan. Ia bukan sekadar sebagai tenaga profesional, tetapi sebagai manusia yang memahami manusia lain—dengan segala luka, potensi, dan kemungkinan untuk bertumbuh kembali.

Udara AC di dalam mobil terasa nyaman, tapi suasana di dalam lebih didominasi oleh diam. Hanya sesekali terdengar obrolan kecil, basa-basi canggung, dan tawa yang setengah dipaksakan.       

Setelah hampir satu jam menyusuri jalanan ibu kota, mobil memasuki gerbang tol lingkar luar Jakarta. Jalan tol yang panjang dan lebar memberikan ruang bagi pikiran mereka untuk mengembara. Gedung-gedung tinggi mulai tertinggal, digantikan oleh hamparan beton yang meliuk menembus kawasan industri, perumahan, dan ladang-ladang sawah di kejauhan.

Perjalanan dalam mobil itu terasa sunyi dan kaku. Hanya suara deru mesin dan angin dari ventilasi yang terdengar. Toni duduk dengan gelisah, merasakan kebekuan suasana yang membuatnya jenuh. Akhirnya, ia memberanikan diri membuka percakapan.

Lihat selengkapnya