Pagi itu, sinar matahari mulai menyapu lembut hamparan ladang, kehidupan pedesaan perlahan menggeliat. Di antara deretan pematang, suara langkah kaki para petani berjalan, menyibak gemercik embun menguap dari tanah. Mereka mulai sibuk menggarap sawah nya, menyambut hari selalu semangat. Di langit, burung walet bersamaan burung kecil lainnya terbang lincah, saling bersahutan riang, seolah menyanyikan lagu pagi menemani kegiatan para petani.
Di pinggir jalan setapak, tampak beberapa ibu dan remaja putri memanggul cucian menuju sungai kecil, dihiasi hamparkan batu kali. Ada batu besar, ada yang kecil, membentuk aliran air yang deras dan jernih, mengalun dari sela-sela batu, menciptakan harmoni alam yang menenangkan jiwa—lukisan damai khas pedesaan yang sulit ditemui di tempat lain.
Di pematangan Sawah, seorang pria berpakaian ala demang, berjalan santai dengan bantuan tongkatnya, diiringi beberapa anak buahnya. Haris Santoso, seorang tuan tanah kaya yang dikenal oleh masyarakat desa. Meski berpakaian sederhana dengan kaos berkerah, celana jeans, dan sepatu bot, aura wibawanya menunjukkan ia bukan orang biasa. Para petani menyapanya dengan segan, seolah sudah akrab dengan kehadirannya yang rutin.
Pak Santoso bukan hanya memiliki banyak sawah dan Tanah, juga peternakan, yang dulunya milik warga, berpindah tangan karena di gadai pinjaman karna bunga tinggi yang tak mampu mereka lunasi. Namun, tumpuan harapan sebagian petani. Ada yang bekerja menggarap sawah milik Pak Santoso dengan sistem bagi hasil. Setiap langkah Pak Santoso di tepi sawah selalu disambut, ada pula yang datang sekadar menyampaikan keluhan., bukan hanya dengan sapaan hangat, tetapi juga harapan dan cerita dari para petani yang menggantungkan hidupnya pada kemurahan hatinya. Tapi di balik itu ada setrategi licik yang ia tawarkan.
Santoso hanya tersenyum sambil menepuk pelan pundak petani yang sedang gelisah di hadapannya. “Pokoknya Saya ikut mana yang baik, kamu tahu sendiri Saya nggak pernah memaksa,” ucapnya dengan nada tenang, seolah ingin menenangkan hati si petani yang tengah bimbang.
Petani itu mengangguk perlahan, menundukkan wajahnya sebelum akhirnya bersuara lirih, “Baik, Pak... nanti Saya tanyakan istri Saya dulu. Apakah Saya harus jual sawah, atau cukup pinjam uang saja.” Kalimat itu keluar seperti ada beban, berharap keputusan nanti membawa kebaikan.
Santoso mengangguk ringan. “Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti kan ada surat perjanjiannya, Bangkum yang urus. Pokoknya kalau masih butuh bantuan, jangan ragu, bilang saja, ya.”
Begitu urusan selesai, Pak Santoso dan Bangkum anak buahnya berjalan kembali menyusuri jalan setapak. Matanya masih menelusuri wajah-wajah para petani di kejauhan, seakan masih mencari seseorang yang belum ia temui. Mereka terus berjalan di antara petak-petak sawah yang diapit bukit hijau, dipenuhi pohon-pohon yang masih segar menghembuskan udara pagi yang bersih.
* * *
Menikmati Air Sungai