Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #12

#12. Obrolan Petani

Pagi hari seperti biasa suasana sawah selalu sibuk para petani, kaki-kaki dalam menuai harapan cukup mengalir dalam menanai padi, dalam gubuk sederhana dengan atas hanya ayaman robek pohon kelapa tiga orang petani sedang menikmati istirahat mereka.

Pagi itu, seperti biasa, suasana sawah dipenuhi kesibukan. Gemericik air irigasi berpadu dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin lembut. Di antara hamparan hijau padi yang mulai menguning, tanpak kaki-kaki yang tak kenal lelah melangkah, menanam harapan satu per satu di lahan yang selalu basah.

Di terlihat gubuk sederhana, beratap anyaman daun kelapa, yang mulai robek dimakan usia, tiga orang petani duduk bersila, menikmati jeda di tengah kerja keras mereka. Asap tipis dari kopi hitam mengepul pelan di antara obrolan ringan.

"Sudah dengar kabar dari Pak Raji ?" tanya Maman sambil meniup kopinya yang masih panas.

"Yang sawah nya di pinggir kali itu?" sahut Warto, mengernyit. "Dengar kabar apa?"

"Sudah diambil Pak Santoso" kata Maman pelan. "Biasa karena utang. Gak sanggup bayar, akhirnya tanahnya disita."

Sunyi sejenak menyelimuti gubuk kecil itu. Hanya suara burung sawah yang terdengar di kejauhan.

"Padahal dulu, sudah aku bilang jangan pinjam ke dia, nanti nasibnya sama seperti kita" ujar Tono lirih, matanya menerawang ke ujung pematang. "Tapi gara-gara sakit anaknya dan pinjam ke Pak Santoso, akhirnya habis juga."

"sekarang kita kerja dengan dia,Harga pupuk naik, hasil panen gak sebanding. Kita kerja siang malam, tapi pembagiannya besaran dia."

Mereka bertiga terdiam lagi. Angin sawah berembus perlahan, membawa serta percakapan yang menggantung di hati mereka. Tapi juga, mungkin, sedikit semangat untuk tetap bertahan.

* * *

Dari kejauhan, tanpak Ical dan Doni tengah asyik mengambil gambar di tengah hamparan sawah. Sesekali, senyum mereka mengembang disertai ucapan permisi yang sopan kepada para petani yang sedang bekerja dilahan petaknya. Ical, dengan gaya khas YouTubernya, berbicara antusias di depan kamera, menyampaikan berbagai informasi kepada para pengikut setianya. Doni pun tanpak sibuk, seolah mengikuti ritme Ical, merekam gambar-gambar yang sebelumnya telah diminta oleh Arief.

Percakapan di antara mereka tak lepas dari aktivitas pengambilan gambar, seolah setiap jepretan menjadi bahan diskusi yang berharga. Mereka berpindah-pindah, dari saung tempat petani beristirahat, menyusuri aliran sungai kecil, hingga mengamati lahan kosong yang membentang luas semuanya menjadi titik-titik penting dalam observasi mereka.

Setelah merasa cukup mengumpulkan materi visual, pandangan mereka terarah pada tiga orang petani yang tanpak serius berbincang di bawah pohon rindang. Dari kejauhan, terdengar samar-samar nama Pak Raji disebut dalam percakapan itu, memancing rasa penasaran mereka untuk mendekat.

Siang itu, matahari mulai terasa terik ketika Ical dan Doni memutuskan berhenti sejenak di sebuah gubuk kecil di pinggir sawah. Nafas mereka masih tersengal usai menyusuri pematang sawah yang cukup melelahkan. Ical melangkah lebih dulu, lalu menyapa ramah seorang petani yang tengah duduk beristirahat.

“Selamat siang, Pak. Boleh kami ikut berteduh sebentar? Lumayan juga ya capek nya jalan-jalan di sawah,” ucap Ical sambil tersenyum dan menyodorkan tangan. Ia memperkenalkan dirinya dengan sopan.

Sang petani membalas salam itu dengan senyum hangat dan jabat tangan erat. Wajahnya tanpak ramah, seakan senang dengan kedatangan dua anak muda yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Tak lama kemudian, seorang petani lain datang membawa dua gelas teh hangat. Aromanya khas campuran rempah dan gula aren yang kuat, ciri khas racikan desa. Ical dan Doni

menerimanya dengan senang hati. Setelah meneguk teh itu, rasa lelah dan haus mereka perlahan menguap, tergantikan dengan sensasi hangat yang menenangkan.

Ical pun memulai percakapan, “Kalau tidak keberatan, kami ingin ngobrol sebentar, Pak. Anggap saja wawancara ringan. Kami sedang mencari ide dan inspirasi untuk program pembangunan desa.”

Lihat selengkapnya