Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #13

#13. Mulai Tebar Kebaikan

Suara mesin molen masih menderu, mengaduk semen tanpa henti. Di tepi jembatan kecil, yang menghubungkan, Desa Leweng Lestari dengan dunia luar, beberapa warga tampak sibuk mengaduk aspal, dan menambal lubang-lubang yang menganga. Tak jauh dari mereka, suara cangkul menghantam tanah, menyatu dengan gemuruh alat dan suara obrolan ringan, udara dipenuhi semangat gotong royong, yang mulai terasa hidup kembali.

Jembatan itu sebenarnya sederhana—cukup untuk dilewati satu mobil—namun perannya sangat vital. Ia menjadi satu-satunya jalan yang menghubungkan desa, untuk keluar dari balik bukit dengan persimpangan utama. Lama kelamaan, kerusakan kecil mulai menggerogoti-nya. Kerikil halus dan batu-batu mengelupas, membentuk lubang-lubang, saat musim hujan berubah menjadi genangan besar, menghambat laju kendaraan.

Arief berdiri di antara kerumunan, tangannya cekatan membantu warga lainnya. Bersama beberapa penduduk, ia hampir menyelesaikan perbaikan jembatan tua itu. Wajah mereka bermandikan peluh, namun semangat terpancar jelas, dari senyuman yang sesekali muncul. Ada rasa kebersamaan, yang mulai tumbuh kembali—sesuatu yang sempat hilang, kini kembali berkat kehadiran Arief.

Tak lama kemudian, Lurah Sabari datang menghampiri. Ia menyapa Arief dengan senyum lebar, menandakan rasa bangga, dan kagumnya terhadap pemuda itu. Arief bukan hanya pandai berbicara, pikir Pak Lurah, tapi benar-benar menunjukkan tindakan nyata. Mereka terlibat dalam percakapan serius, dari tangan Arief yang menunjuk ke arah sawah dan bukit, tampak jelas, ia tengah menjelaskan suatu ide besar. Pak Lurah mengangguk berkali-kali, matanya berbinar tertarik dengan gagasan yang disampaikan.

ditemani secangkir teh panas, dan semilir angin mulai sore, membawa aroma tanah dan daun kering. Di antara mereka, Sabari duduk dengan dahi berkerut, menyimak pemaparan Arief, seorang pria dengan ide nya, keinginannya merubah desa, dengan semangat membara.

Pembangunan desa berbasis agrowisata menjadi topik utamanya. Rencana itu Arief meminta dari hasil musyawarah bersama, dengan fokus besar pada pemanfaatan potensi lokal—di tengah sawah, atau lahan subur, kebun sayur, peternakan rakyat,

Arief melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam. Ia berbicara tentang ibu-ibu rumah tangga—tulang punggung keluarga yang selama ini hanya dianggap pelengkap. “Mereka punya keterampilan. Mereka bisa memasak, membuat kue, keripik, makanan rumahan yang rasanya tak kalah dari restoran.”

Ide UKM pun muncul sebagai bagian dari rencana besar itu. Bukan sekadar bisnis kecil-kecilan, tapi jalan untuk membangkitkan ekonomi lokal. Tak perlu syarat rumit seperti di industri besar. Tak perlu ijazah tinggi atau modal besar. Cukup dengan kemauan dan kemampuan yang sudah mereka miliki.

“Bayangkan,” kata Arief, kini menatap seorang ibu muda di barisan depan, “kalau ibu-ibu di sini bisa menghasilkan uang dari dapur mereka sendiri. Tak perlu meninggalkan rumah, tapi tetap bisa membantu ekonomi keluarga.”

Sejenak, suasana hening. Lalu terdengar suara setuju, dari seorang warga dengan tersenyum, bisikan harapan, dan pelan-pelan, senyum mulai merekah di wajah-wajah yang ikut mendengarkan.

Arief tahu, ini baru langkah awal. Tapi ia percaya, jika desa ini bisa berdiri di atas kekuatannya sendiri—tanpa terlalu bergantung pada pekerjaan formal atau uluran bantuan pemerintah—maka mereka sedang membangun lebih dari sekadar ekonomi. Mereka sedang membangun martabat. Sedang menciptakan rezeki, dengan tangan mereka sendiri.

Namun, Sabari ragu. Ia menatap Arief dengan tatapan berat.

“Menarik juga, Rif. Tapi bagaimana caranya? Warga kami belum pernah mengelola wisata,” katanya pelan, seolah lebih bicara pada dirinya sendiri.

Arief tersenyum. Ia tahu pertanyaan itu akan muncul. “Tenang, Pak. Kita mulai dari hal kecil dulu. Kita bisa ajak warga, untuk merapikan lahan-lahan kosong yang ada disawah.”

Sabari terdiam. Ia membayangkan kebun-kebun yang selama ini hanya sekadar tempat bekerja, kini bisa berubah jadi destinasi. Tapi, keraguannya belum sirna.

“pasti banyak sekali manfaat untuk masyarakat desa ini!”

“Banyak, Pak,” jawab Arief yakin. “Mulai dari penghasilan tambahan dari tiket masuk, penjualan hasil kebun, makanan lokal… sampai lapangan kerja baru—pemandu wisata, pengelola homestay, penjual oleh-oleh. Produk desa bisa dikenal lebih luas. Anak-anak muda nggak harus lari ke kota. Mereka bisa tetap tinggal, berkarya di sini.”

Hening sejenak. Angin sore berembus lebih kencang, seperti membawa pesan baru bagi tanah itu. Sabari menarik napas dalam.

“Kalau seperti itu,” katanya, pelan tapi tegas, “saya rasa warga akan tertarik. Apalagi kalau memang ada hasil nyatanya.”

Arief tersenyum puas. “Saya yakin kita bisa, Pak. Asalkan kita kompak. Saya bisa bantu buatkan rencana awal, dan presentasi ke warga di pertemuan desa minggu depan.”

Sabari menepuk bahu Arief, matanya tak lagi ragu. “Baik. Saya akan bantu kumpulkan warga. Saya juga ingin desa ini bangkit, Rif. Sudah cukup lama, kita hanya jadi penonton.”

Arief mengangguk, merasa kehangatan merambat ke dadanya. “Ini awal perjalanan besar, Pak. Untuk desa kita.”

Begitu yakin dengan potensi rencana tersebut, Pak Lurah segera memanggil salah satu warga untuk menyampaikan pesan: kumpulkan semua orang, kita akan duduk bersama membahas rencana Arief dan kawan-kawan. Pembangunan desa tak boleh berhenti di jembatan ini saja.

Lihat selengkapnya