Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #14

#14. Wajah Merindukan

Di sebuah rumah sederhana yang tanpak bersahaja, berdiri kokoh, meski sebagian dindingnya, hanya perpaduan tembok, dan papan kayu. Di depannya, pohon belimbing yang rindang memberi keteduhan, sementara, jendela yang tertutup kawat kotak, tanpak sedikit berdebu oleh waktu. Di dalam rumah itu, duduk seorang lelaki tua, Pak Tono, mengipas tubuh kurus nya. Wajahnya tirus dan keriput, menandakan usia dan lelah yang telah lama bersarang. Sesekali batuk terdengar—serak dan berat—memecah keheningan, menjadi jeda dalam lamunan nya yang dalam. Sudah tak terhitung obat dari Puskesmas yang ia konsumsi setiap hari, namun batuk itu tak kunjung pergi. Seolah penyakitnya telah menjadi bagian dari dirinya.

Tiba-tiba, suara gesekan pagar bambu dari luar rumah mengusik keheningan. Pak Tono menoleh, seperti sudah tahu siapa yang datang. Benar saja, itu Ipang, anak nya yang bekerja pada Pak Santoso. Setahu Pak Tono, anaknya hanya membantu mengantar beras ke beberapa toko di pasar.

“Assalamualaikum, sudah balik Pak dari sawah?” sapa Ipang hangat sambil mencium tangan ayahnya, lalu bergegas ke dapur yang hanya tertutup kain tipis sebagai pengganti pintu. Tak lama kemudian, ia kembali dengan segelas air, dan duduk di bangku, menyadarkan tubuhnya sejenak.

Percakapan mereka mengalir hangat, meski sesekali, mata Ipang tanpak menerawang, ke bilik dinding atas, seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Pak Tono pun menjawab sapaan anaknya, dengan suara serak, mencoba tetap tenang dan tidak menunjukkan rasa sakit yang sesungguhnya. Ia tak ingin membuat anaknya khawatir.

Setiap pulang Pak Tono, memang selalu termenung, di beranda rumah yang mulai rapuh dimakan waktu, lelaki itu duduk memandangi langit senja. Wajahnya yang renta, selalu menyimpan kerinduan yang dalam, terpatri dalam setiap garis usia, yang menggores pipinya. Ia merindukan anak lelaki sulungnya—seseorang yang telah lama hilang tanpa kabar, bagai ditelan bumi.

Dua tahun telah berlalu sejak warga desa menemukan sesosok mayat yang diduga kuat adalah putranya. Mereka yakin, dengan bukti-bukti yang ditemukan, bahwa anaknya telah tiada. Tapi lelaki tua itu tak pernah benar-benar percaya. Hatinya menolak kenyataan yang tidak sepenuhnya pasti. Baginya, harapan masih hidup. Entah di mana, ia merasa anaknya masih bernafas, masih berjalan di bawah langit yang sama.

Rasa rindu kerap menghantui hari-harinya, terutama saat malam datang dan sunyi mulai berbicara. Ia teringat tawa riang anaknya yang dulu memenuhi rumah, menciptakan hidup di antara dinding-dinding sepi itu. Kini, rumahnya sunyi—hanya suara jam dinding dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.

Apalagi sejak penyakit mulai menggerogoti tubuhnya, ia semakin yakin: andai anaknya masih di sini, pastilah ia tak akan membiarkan sang ayah, menghadapi semua ini sendirian. Ia tahu betul, anaknya adalah sosok yang penyayang, yang tak akan pernah menutup mata pada penderitaan orang tua.

Namun di balik semua keraguan dan luka yang tersimpan dalam diam, wajah lelaki tua itu tetap terlihat tabah. Ada kesabaran yang dalam, seolah ia sedang menunggu sesuatu yang pasti. Sebuah keyakinan yang tak mudah goyah—bahwa anaknya masih ada, entah di mana, dan suatu saat, menyakini pasti akan pulang.

“Bagaimana, sudah ada kabar dari abangmu?” tanyanya, menatap Ipang dengan mata yang menyiratkan rindu dan harapan.

Ipang menghela napas, lalu menjawab lembut, “Bapak jangan banyak pikiran, ingat kesehatan. Sudah minum obat belum? Ibu mana, Pak?” Ia segera berdiri dan menuju lemari kecil, mengambil obat untuk diberikan pada sang ayah.

“Ibumu masih di ladang. Katanya nanti ada kegiatan dari Bu Lurah, ada perkumpulan ibu-ibu,” jawab Pak Tono sambil meneguk obat yang diberikan Ipang.

“Oh iya, tadi Bapak juga ketemu anak muda namanya Doni. Katanya dari kantor di Jakarta, mau lihat-lihat daerah sini, katanya sih untuk bantuan,” lanjut Pak Tono.

Ipang tanpak sedikit terkejut, meski dalam hati ia sudah menduga, bahwa ayahnya pasti bertemu Doni di sawah. Ia pun menanggapi, “Iya, Pak. Dia juga sudah ngobrol sama Saya. Mudah-mudahan benar ada perhatian untuk kampung kita, biar bisa lebih baik ke depannya.”

Setelah itu, Pak Tono merebahkan tubuhnya di bangku panjang, mencoba beristirahat. Sementara itu, Ipang pamit kembali untuk bekerja. Langkahnya perlahan menyusuri jalan keluar, meninggalkan rumah yang mungkin sederhana bagi banyak orang, tapi baginya—penuh cerita dan kenangan.

Lihat selengkapnya