Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #15

#15. Gudang & Memahami Diri

Suara mesin penggilingan padi menderu tanpa henti, menggema di dalam gudang tua. di pinggir jalan desa, dekat bentangan sawah. Asap tipis mengepul dari cerobong kecil seng, menandai roda produksi beras sedang berjalan. Di dalamnya, derap langkah kaki dan gemerisik karung berpadu akrab menjadi irama keseharian.

Para pekerja pria ada yang muda dan tua, tanpak mengangkat karung-karung gabah ke dalam mesin, dengan sisa otot dari tenaga umurnya, sementara di sudut lain, deretan perempuan setengah baya duduk bersila di lantai berdebu. Tangan-tangan mereka, yang kasar dan kaku dimakan usia lamanya bekerja, dengan sabar menyortir butiran padi yang belum sempurna. Keringat mengalir di pelipis, namun tak ada keluhan—hanya tatapan kosong penuh kelelahan dan kesetiaan pada upah harian yang tak seberapa.

Wajah mereka sudah bergaris keriput, tak hanya oleh waktu, tapi beban hidup yang terus mereka pikul. Seorang di antaranya, Mbok Nah, tersenyum tipis meski tubuhnya mulai bergetar karena rematik. "Asal anak bisa makan, sudah cukup," gumamnya lirih, seakan pembicaraan mereka selalu tentang hari ini dan esok hanya untuk mencari makan. Yang lain, Yu Lastri, yang terlihat lebih muda hanya lulusan SD, menjadi bagian berjalannya roda kegiatan di dalam gudang, tak henti melirik jam di dinding—menghitung waktu sebelum harus pulang menanak nasi, untuk anaknya, yang ditinggal suami merantau, dan hilang tak ada kabar.

Di tengah hiruk-pikuk gudang, Icha di temani Bangkum, berdiri diam di ambang pintu besar, putri satu-satunya Pak Santoso—seakan dari wajahnya ada ke kaguman ke pada ayahnya mempunyai gudang beras, menjadi terpandang di desa—memperhatikan setiap gerak para pekerja, dengan sorot mata yang berbeda, Ada pertayaan dalam caranya memandangi ruangan.

Langkah pelan menapaki lorong sisi gudang. Matanya menyapu tiap sudut, hingga akhirnya berhenti di belakang tumpukan karung lama. Di sana, sebuah pintu besi kecil, nyaris tersembunyi di balik bayang. Pintu itu bukan bagian dari bangunan, melihat sedikit ke dalam, ada pertayaan dalam hatinya, seperti bukan untuk menyimpan beras.

Di balik pintu itu, ada tumpukan peti kotak botol-botol kosong—apakah bisnis haram ayahnya yang dulu masih di jalaninya?. Namun, ia berusaha percayai bahwa ayahnya sudah benar-benar tobat.

Icha masih berdiri di depan pintu besi, Pelan-pelan ia menoleh ke belakang, seorang pria berusia baru baya, mengenakan topi lusuh dan kaos buruh, sedang memindahkan karung. Ia menyadari Icha mengawasinya, dan sejenak terdiam, setelah menurunkan karung di bahunya.

"Pak," panggil Icha, suaranya pelan tapi cukup tegas.

Pria itu langsung menghampiri, menyeka keringat dari leher dengan tangan. "Iya, Mbak Icha? Ada yang bisa Saya bantu?"

Icha mengangguk sambil menunjuk ke arah pintu besi. "Itu... ruang apa, Pak?"

Pak Diman sempat terdiam sepersekian detik. Wajahnya melihat keluar, sosok Bankum sedang menelepon sedikit tegang, tapi ia cepat menggantinya dengan senyum datar. "Oh, itu cuma gudang kecil, Mbak. Tambahan untuk menyimpan apa aja. Buat nyimpen karung kosong, alat timbang, ya seadanya aja. Biar nggak campur sama hasil panen."

Icha mengangguk perlahan, tapi matanya belum beranjak dari pintu itu. Jawaban Pak Diman terdengar sedikit masuk akal, tetapi kekakuan nya dalam menjawab, menjadi sedikit mencurigakan terbelesit dalam pikiran Icha.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Icha melangkah menjauh. Tumit sepatunya bergema pelan di lantai semen gudang. Ia berjalan keluar, melewati para pekerja yang masih berkutat dengan karung, tangan, dan hidup mereka. Langit mulai berubah jingga, dan bayangan panjang menari di halaman.

Tapi di dalam dirinya, sebuah pertanyaan mulai tumbuh liar—tentang siapa sebenarnya ayahnya, apakah ada yang disembunyikan di balik pintu tua yang baru ia lihat.

* * * 

Memahami Diri

Malam itu seperti biasa, hanya ditemani cahaya lampu kecil, di belakang pondok bascamp, dan nyala api dari tong, yang memancarkan kehangatan seadanya. Wajah-wajah mereka tersorot cahaya samar, cukup untuk melihat senyum dan gurauan yang mulai muncul. Suasana perlahan menyatu, hasil dari observasi mereka, se-harian berkeliling di desa. Cerita-cerita mulai mengalir, beberapa berhasil mengundang tawa lepas. Arief pun tersenyum, seolah-olah permainan yang ia susun—baru saja dimulai—sudah mulai menjerat cerita mereka.

Arief melangkah pelan, menatap sawah yang terbentang, sebelum akhirnya mendekati lingkaran kecil, tempat, teman-temannya duduk mengitari api unggun. Tawa-tawa yang tadi riuh mulai meredup seiring langkahnya mendekat. Kehadirannya seolah menjadi pertanda, bahwa malam ini akan diisi dengan diskusi yang lebih dalam, lebih personal.

“Baiklah,” Arief membuka suara dengan tenang, “malam ini Saya ingin kita saling bercerita. Cerita kehidupan kalian, tentang siapa kalian sebenarnya, apa kemampuan kalian. Tujuannya jelas, supaya kita bisa saling mengenal, memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing.”

Tatapannya kemudian beralih ke arah Bayu. “Mulai dari kamu, Bayu. Silakan.”

Bayu mengangguk pelan, menarik napas sesaat, sebelum mulai berbicara. “Hidup Gue nggak ada yang menarik, sejujurnya. Gue cuma perampok kecil, yang dua kali bikin orang tua kecewa dalam satu tindakan.” wajah datarnya sambil menatap nyala api. Semua terdiam sejenak, saling berpandangan. Ada sesuatu yang ganjil, tapi juga membuat penasaran.

“Lho, bukannya hebat ya jadi perampok? Tapi kok bisa dua kali mengecewakan orang tua lo sekaligus?” tanya Paul dengan raut bingung.

Bayu tertawa kecil sebelum menjawab, “Yang pertama karena Gue jadi perampok, dan yang kedua... karena yang Gue rampok itu, toko bokap Gue sendiri.”

Seketika tawa meledak. Semua terbahak, bahkan Arief pun tak mampu menahan senyum dan berkali-kali mengusap matanya, mencoba menahan tawa yang sulit dikendalikan.

“Loe gila sih, Bang!” celetuk Ical, masih ter gelak.

Bayu tersenyum miris, lalu melanjutkan dengan nada lebih tenang, “Dan yang ngelaporin gue ke polisi juga... bokap gue sendiri. Tapi gue punya alasan kenapa sampai segitunya. Bokap punya banyak usaha, tokonya ada di mana-mana, dan... ya, istri juga banyak. Sampai akhirnya dia lupa sama ibu gue yang selalu sabar.”

Dia menarik napas panjang, membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman, lalu meneruskan, “Tapi ya, meski pun begini, gue kuliah. Bahkan punya dua gelar. Yang pertama lulus S1 jurusan teknik pertambangan, itu bokap Gue yang mau. Yang kedua gue ambil bisnis, tapi belum kelar karena kasus gue ini. Sekarang, ya mudah-mudahan bisa gue lanjutin. Setelah dari penjara... siapa tahu bisa lulus S3 nanti.”

Bayu mengakhiri ceritanya dengan senyum tipis. “Begitulah... cerita manis Saya malam ini, Pak.”

Setelah Bayu selesai bercerita, suasana kembali hening. Hanya terdengar suara seruput kopi yang perlahan mengisi keheningan malam. Api unggun masih menyala, memberikan hangat yang temaram di tengah dingin-nya udara. Dalam diam yang terasa nyaman itu, Arief menoleh ke Baon dan memintanya untuk menceritakan kisah hidupnya.

Baon, yang sejak tadi duduk membungkuk sambil menghangatkan tangannya di dekat api, kini sedikit meluruskan punggungnya. Giliran dia berbicara. Dengan suara tenang, ia mulai, “Hidup Saya tidak se-istimewa Bayu. Saya hanya anak dari ayah pensiunan pegawai BUMN dan ibu yang dulu jualan gado-gado di pasar. Tapi… sudah lama mereka, tiada semua.”

Kisah sederhana itu justru menyentuh hati teman-temannya. Andre, yang duduk di sampingnya, tanpak terharu. Ia mengusap pelan punggung Baon, sebuah isyarat bahwa ia mengerti dan merasakan kepedihan yang dirasakan Baon. Kini mereka tak lagi sekadar teman, tapi seperti satu tim yang saling memahami luka masing-masing. Baon melanjutkan, mengatakan bahwa ia telah menjalani hidup seorang diri cukup lama—15 tahun sudah ia bekerja sebagai sopir pribadi.

Tiba-tiba, Toni yang sedari tadi diam, bertanya, “Terus, kenapa bisa sampai di sini, Bang?”

Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi entah kenapa, Baon justru melirik ke arah Arief sejenak—ada sesuatu yang belum sepenuhnya ingin ia ungkapkan. Arief menyela cepat dengan batuk kecil, seolah mencoba mengalihkan.

“Eh, nggak apa-apa, Bang. Kalau memang tidak ingin di ceritakan!. Tapi Saya penasaran satu hal… Bang Baon dulu pemain bola ya? Streaker tim muda Persija, ya?”

Pertanyaan itu membuat Baon terdiam. Tatapannya kosong, menembus gelapnya sawah di kejauhan. Udara malam terasa semakin dingin.

“Yah… itu cuma kenangan masa muda,” ucapnya pelan sambil menyelipkan tangannya ke dalam saku switernya.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Tak ada yang berbicara. Masing-masing seperti menunggu giliran untuk membuka lembaran kisah hidupnya sendiri.

Lihat selengkapnya