Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #17

#17. Menanam Mimpi Untuk Nyata

Pagi itu, di Jalur menanjak menuju bukit, membelah "landscape" hijau, yang seolah memanggil siapa saja untuk menjelajahinya. Suara ayam jantan yang terlambat berkokok, bersahut dengan gemericik air sungai, yang mengalir lembut. Semilir angin pagi membawa aroma khas dedaunan basah, dan sisa asap dari pembakaran jerami di ladang, menambah nuansa selalu hidup.

Di tepi sungai, tampak, Andre Paul dan Ical sibuk bekerja. Mereka memotong batang-batang pohon liar, yang tumbuh tak beraturan, dibantu oleh beberapa warga, dengan semangat, turut membabati rumput, dan semak belukar yang menutupi tepian. Di antara mereka, Bayu tanpak menurunkan batang pohon besar, memotong nya menjadi bagian-bagian kecil, lalu menumpuk-nya rapi di area pembakaran. Asap tipis mengepul dari tumpukan ranting, dan sampah yang dibakar, menari-nari dibawa angin pagi.

Perlahan, wajah bukit mulai tanpak tertata. Pohon-pohon pinus dan pepohonan besar lainnya, kini terlihat lebih jelas dan indah, akar-akarnya mencengkeram tanah dengan gagah, seolah menyambut perubahan yang sedang terjadi.

Di sela-sela kerja, seorang warga menuangkan kopi dan air putih ke dalam gelas-gelas sederhana, lalu memberikannya pada Bayu. Tawa kecil dan percakapan ringan, mulai terdengar di antara mereka. Obrolan itu mengalir, membahas tujuan kegiatan mereka hari ini,: membersihkan lahan sawah dan sekitarnya, mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.

Di bawah rindang nya pohon di tepi sawah, obrolan hangat mulai mengalir. Paul dan Ical, Andre ikut bergabung duduk bersama warga yang telah usai menuntaskan pekerjaan di ladang. Nampan-nampan sederhana beralaskan daun pisang menyuguhkan cemilan ringan—keripik singkong, potongan ketela rebus, dan pisang goreng. Tak ada yang mewah, tapi cukup untuk menghangatkan kebersamaan.

Semua dilakukan secara sukarela. Di desa ini, kebersamaan tak perlu undangan, cukup hati yang ringan dan niat yang tulus. Di tengah percakapan, Bayu angkat bicara. Suaranya tenang namun tegas, menyentuh hati yang mendengarnya.

“Tujuan ini bukan buat kami, Pak,” ucapnya pelan. “Kalau nanti desa ini maju, yang merasakannya ya masyarakat juga. Untuk membangun agrowisata, nggak bisa instan. Harus bertahap. Pelan-pelan tapi pasti.”

Beberapa warga mengangguk pelan, tersenyum kecil. Ada harapan baru yang mulai tumbuh, walau masih dibalut keraguan. Seakan berpikir, apakah desanya bisa menjadi sesuatu yang menarik?

“Emang bakal ada yang mau wisata ke sini, Bang?” tanya seorang petani tua, menggaruk kepala sambil meneguk air dari botolnya. “Mang, agrowisata itu apa, ya?”

Bayu tersenyum, lalu menatap jauh ke arah hamparan sawah di depan mereka.

“Izinkan saya bercerita sedikit,” katanya. “Bukan tentang gedung tinggi atau teknologi canggih. Tapi tentang tempat ini. Tentang sawah. Tempat yang mungkin selama ini Bapak-bapak anggap biasa saja. Tempat di mana setiap pagi berangkat, menanam padi, membajak tanah, lalu pulang membawa harapan.”

Bayu terdiam sejenak, memberi jeda.

“Tapi siapa sangka, suatu hari orang-orang dari kota datang. Mereka bukan petani. Mereka hanya ingin menikmati suasana. Duduk di pematang, sambil menkmati masakan ala desa, ambil foto, bahkan tertawa geli saat tercebur ke lumpur. Dari situ, kita sadar—apa yang kita anggap biasa, ternyata luar biasa di mata orang lain.”

Para petani mulai memperhatikan lebih serius. Senyum tersungging di beberapa wajah, seolah mereka baru menyadari sesuatu. “Dari situlah muncul ide agrowisata,” lanjut Bayu. “Bukan sekadar pemandangan. Ini tentang pengalaman. Tentang mengajak orang-orang merasakan hidup desa. Belajar menanam, mengenal budaya, dan ikut merasakan keseharian masyarakat desa.”

Ia lalu menunjuk pinggiran sawah. “Kita bisa bangun beberapa saung atau gazebo, bikin tempat istirahat di bawah pohon. Sawah ini bisa jadi ruang belajar, ruang santai, bahkan ruang harapan.” 

“Tapi bukan cuma di sini,” katanya lagi sambil menunjuk arah bukit kecil di kejauhan. “Tanah kosong di atas bukit itu juga bisa dimanfaatkan. Pak Lurah sudah setuju. Sayang kalau tidak dikerjakan. Tapi saya mau tahu, sawah yang di sana itu milik siapa?”

Pertanyaan itu membuat suasana hening sejenak. Warga saling pandang, seolah menyimpan sesuatu yang tak mudah untuk diungkap.

Akhirnya, Pak Duloh, petani berusia lanjut dengan sorot mata tajam, mendekat perlahan. Suaranya berat namun jujur.

“Sawah di sana... sebagian besar sudah bukan milik warga lagi. Hampir semuanya sudah milik Pak Santoso,”

Bayu terdiam sejenak. Matanya menerawang, mencoba merangkai potongan-potongan informasi yang perlahan mulai masuk akal. Ia menoleh ke arah petani yang duduk bersila di samping tungku.

“Pak Santoso?” tanyanya pelan.

Lihat selengkapnya