Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #18

#18. Icha Menikmati Sawah

Di tempat berbeda Icha melangkah perlahan di pematang sawah, yang sempit dan sedikit berlumpur. Tangannya menggenggam erat tangan Ipang, menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh ke sawah, yang menghampar di kanan-kiri mereka. Rumput liar dan ilalang menggesek kaki mereka, sementara lumpur mulai menempel di sepatu. Di atas mereka, kicauan burung bersahutan, menyatu dengan suara gemerisik daun padi yang tertiup angin. Wajah Icha tak henti tersenyum, takjub akan keindahan alam yang sederhana tapi menenangkan.

“Lihat, Ipang,” ujarnya sambil menunjuk ke arah seorang petani yang sedang membajak sawah, “Aku ingin bertanya sedikit soal kehidupan mereka. Buat bahan skripsiku. Sekalian penasaran juga, seperti apa sih program UKM di desa ini?”

Ipang mengangguk sambil tersenyum, “Iya, silakan, Cha. Aku tunggu di sini saja.”

Tanpa menunggu lebih lama, Icha melangkah cepat menuju sebuah saung kecil di tepi sawah, tempat petani tadi kini duduk beristirahat. Dari kejauhan, Ipang mengawasi, sesekali matanya melirik ke arah saung yang lebih jauh, milik ayahnya sendiri—nyaris tak terlihat dari tempat mereka berdiri.

Sesampainya di saung, Icha menyapa dengan ramah, “Selamat pagi, Pak. Boleh saya ngobrol sebentar? Saya ingin tahu tentang kegiatan bertani di sini, juga usaha masyarakat, selain bertani.”

Petani itu mengusap keringat di dahinya dan tersenyum, meski tanpak lelah. “Boleh, neng. Silakan duduk. Maaf ya, saya masih basah keringat begini.”

Lalu Icha duduk di sebelahnya, tak terganggu oleh kondisi petani itu. Obrolan pun mengalir hangat. Petani itu bercerita tentang keseharian mereka—tentang bagaimana bertani tak sekadar menanam dan panen, tapi juga tentang bertahan hidup. Ia mengeluhkan betapa sulitnya mengembangkan usaha di desa yang jauh dari pasar. Usaha kecil mikro, yang dimaksud Icha, menurutnya, belum berjalan dengan baik. Hanya ada beberapa warung kecil seadanya. Keterbatasan akses dan transportasi menjadi penghalang. Mereka yang punya mobil bisa menjual hasil tani ke kota, tapi yang lain hanya bisa menunggu pembeli datang—yang semakin jarang.

“Desa ini tertinggal, Neng,” ujarnya lirih. “Mau berkembang susah. Nggak ada yang bimbing, nggak ada yang bantu. Ya kami begini-begini saja. Jualan kecil-kecilan, asal cukup buat makan.”

“desa ini tak pernah berubah,” katanya lirih. “jalan aspal sudah banyak yang hancur, listrik datang dan pergi seperti angin, dan anak-anak lebih kenal lumpur daripada buku.”

Wajahnya yang penuh kerut, seperti menyimpan peta kehidupan yang keras. Setiap garis di kulit tuanya, mencerminkan kejujuran, dan kesederhanaan yang tak bisa dipalsukan. Di balik kerutan itu, tersimpan kepolosan dan kebenaran dari sebuah kenyataan yang tak banyak diketahui—tentang masyarakat yang bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang keterbelakangan.

Petani tua bernama Pak Duloh, duduk bersandar di tiang bambu, sambil menatap hamparan sawah yang menguning. Suaranya serak dan pelan saat ia mulai bercerita, seolah setiap kata yang keluar mengandung beban sejarah panjang, yang tak pernah benar-benar dipahami orang luar.

Lalu dengan nada lebih berat, ia bercerita bahwa sawah yang sedang ia garap sebenarnya bukan miliknya lagi. Telah digadaikan kepada seseorang bernama Santoso. Cicilan bulanan-nya memberatkan, belum lagi harus membeli bibit, pupuk, dan alat-alat lainnya.

Icha terdiam sejenak. Santoso disebut, nama ayahnya yang di maksud Pak Duloh. Tapi ia memilih diam. Ia ingin tahu, tanpa identitasnya. Ingin mendengar dari warga desa, seperti apa sebenarnya sosok ayahnya di mata mereka.

Icha memang sedang tahap menyelesaikan kuliah akhirnya di Universitas Gajah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan mengambil Jurusan: Antropologi Sosial (mengkaji perubahan sosial, budaya, dan identitas masyarakat desa) skripsi temanya, yang membahas tentang transformasi sosial petani menjadi pelaku UKM di desa,

Dalam pandangan Icha, sosial, perubahan yang terjadi di sebuah desa tak hanya tercermin pada pembangunan fisik atau masuknya model usaha modern seperti UKM, tetapi juga pada bagaimana masyarakat menata ulang cara hidup mereka. Di balik geliat ekonomi yang perlahan tumbuh, tersimpan dinamika sosial yang kompleks dan menarik untuk ditelaah. 

 Penelitiannya ini mencoba memahami perubahan itu, bukan semata dari data dan angka, tetapi dari suara-suara kecil yang sering terabaikan—suara para petani yang menggenggam cangkul dan sekaligus mimpi, suara ibu-ibu yang menjaga warung sambil tetap memelihara nilai-nilai tradisi.

Lewat lensa antropologi sosialnya, desa bukan sekadar lokasi penelitian. Ia adalah ruang hidup yang terus bergerak, tempat identitas, relasi kuasa, dan nilai-nilai komunitas diuji oleh zaman.

Obrolan mereka berlanjut, sederhana namun penuh makna. Dari balik saung kecil, Icha tak hanya menemukan cerita untuk skripsinya, tapi juga wajah desa yang tak pernah benar-benar ia kenal—meski ia membawa nama keluarga yang besar di sana.

Pak Duloh memandang ke langit, seolah mencari sesuatu yang mungkin hanya ada dalam harapan. “Kami selalu bermimpi ada sesuatu yang datang—sesuatu yang bisa mengubah hidup di sini. Tapi harapan itu... seringnya hanya lewat seperti kabut pagi.”

Namun, meski hidup di bawah bayang-bayang kemiskinan dan keterbatasan, cerita Pak Duloh bukan sekadar ratapan. Di balik suara tuanya, ada nyala kecil yang belum padam: keyakinan bahwa suatu hari, meski entah kapan, mimpi itu, mungkin saja akan mengetuk pintu desanya.

Lihat selengkapnya