Di tengah kawasan hutan pinus, yang tinggi menjulang dan teduh, suasana terasa tenang dan nyaman. Lokasinya tak jauh dari jalan utama, sedikit menanjak menuju area perbukitan yang masih alami. Di dataran pinus itu, tampak Arief sedang berbincang serius dengan Pak Lurah. Raut wajah mereka mencerminkan kesungguhan, sementara gerak tangan mereka seakan menggambarkan sebuah rencana. Sesekali Arief menunjuk ke arah tertentu, tampaknya membahas potensi lokasi di hadapan mereka.
Pak Lurah pun tampak antusias. Dengan semangat, ia beberapa kali mengajak Arief berjalan menyusuri area, lalu berhenti di titik-titik tertentu, seolah mencocokkan gagasan dan harapan mereka. Tempat itu memang memikat—kebun-kebun liar, dan semak belukar masih mendominasi, pohon-pohon besar tumbuh leluasa, dan kicau burung menambah kesan alami, yang jarang dimiliki desa lain.
Sabari melangkah pelan di antara deretan pohon pinus yang menjulang tinggi. Udara dingin menusuk lembut kulit, dan aroma getah pinus menyeruak memenuhi ruang di antara kesunyian. Tak ada suara, selain gemerisik daun kering yang terinjak dan desir angin yang menyusup di sela-sela dahan. Hutan itu sunyi, namun menyimpan banyak cerita.
Ia berhenti sejenak, matanya menatap sebuah gubuk tua di kejauhan—rapuh, tapi masih berdiri tegar di bawah bayang-bayang pepohonan. Jari telunjuknya terangkat, menunjuk ke arah bangunan reyot itu.
“Gubuk itu,” katanya lirih, “bukan sekadar tempat kita beristirahat, dulu. Di sanalah kami menyimpan tawa, mimpi-mimpi kecil yang ingin kami wujudkan, tekad yang kami pupuk, dan semangat yang tak pernah padam. Di sana juga, perpisahan terjadi—demi cita-cita yang lebih besar.”
Ia terdiam sebentar, lalu menoleh pada Arief yang berjalan di sampingnya. “Iskandar... bocah kecil itu. Ia tak pernah bosan mendengar kisah-kisah kami. Ia menyerap semangat kami seolah miliknya sendiri. Kini, ia pun ingin menjadi bagian dari mimpi itu—membangun desa ini agar tak tertinggal.”
Sabari menghela napas panjang, seakan menahan rindu, yang mendadak menyeruak. Sementara itu, Arief terpaku, terdiam dalam benaknya. Ia membayangkan persahabatan dua pemuda yang pernah bertukar cita-cita di dalam gubuk sederhana itu—dan betapa dalamnya makna di balik setiap cerita yang mereka tinggalkan.
Tanpa banyak bicara, mereka kembali melangkah, meninggalkan hutan pinus bersama bisikan kenangan yang terpatri dalam diam. Gubuk tua itu perlahan menghilang dari pandangan, namun jejak ceritanya tetap tinggal—di hati mereka, dan di tanah yang terus mereka perjuangkan.
Dari kejauhan, suara gemuruh mesin mobil, memecah kesunyian hutan pinus, yang tengah diselimuti embun pagi. Sebuah mobil SUV hitam menggelinding perlahan menuruni jalan tanah yang licin, menyisakan jejak roda di antara dedaunan basah. Di dalamnya, empat sosok duduk dalam diam yang penuh tanda tanya. Pak Santoso, duduk di kursi penumpang depan, melipat tangan di dada dengan sorot mata waspada. Di balik kaca depan, matanya menatap tajam Arief dan Sabari, yang berdiri tak jauh dari tikungan, tampak terlibat dalam percakapan serius di bawah rindangnya pohon pinus.
"Itu Pak Arief, kan?" suara Nandar, yang duduk di bangku belakang, memecah keheningan. Ia menyipitkan mata, mencoba memastikan sosok yang dikenalnya. "Mereka datang dengan beberapa orang. Katanya dari perusahaan tambang."
Pak Santoso bergeming sejenak, sebelum akhirnya menggeram pelan. "Mereka mau apa di atas sana? Jangan-jangan... ini masih soal gubuk tua itu. Yang ada di bawah tebing."
Nada curiganya menyusup ke dalam kabin, menciptakan ketegangan halus di antara mereka.
"Informasinya sih mereka lagi survei lokasi tambang, Pak," timpal Nandar, mencoba memberi penjelasan, meski ia sendiri terdengar tak sepenuhnya yakin.
Bangkum, yang sejak tadi mengemudi tanpa bicara, akhirnya angkat suara. Suaranya tenang namun tegas, seperti hendak meredam kegelisahan yang mulai menguat. "Jangan terlalu dipikirkan, Pak. Masalah itu sudah lama berlalu. Lagipula, sepertinya arah mereka bukan ke gubuk itu. Saya akan cari tahu lebih lanjut nanti. Biar jelas."
Pak Santoso tidak menjawab. Ia hanya mendengus pelan, namun, sorot matanya tetap menempel pada dua sosok di kejauhan, seperti enggan berpaling. Ada ketegangan yang belum terucap, sesuatu dari masa lalu yang belum benar-benar selesai.
Mobil terus melaju, perlahan meninggalkan kawasan hutan pinus yang mulai disinari matahari pagi. Cahaya keemasan menembus celah-celah pepohonan, membentuk bayangan yang bergoyang, di permukaan tanah. Arah mereka kini menuju ke rumah mewah milik Santoso—tempat di mana rencana-rencana besar, dan rahasia-rahasia lama, sering kali dibicarakan tanpa saksi.
Sementara itu, jauh di belakang mereka, di bawah kanopi hijau yang tenang namun menyimpan banyak cerita, Arief dan Pak Lurah masih berjalan. Suara angin bukit berdesir pelan, membawa aroma tanah dan pinus, menyelimuti percakapan mereka yang belum usai. Sebuah percakapan yang mungkin akan mengguncang lebih dari sekadar tanah tempat mereka berpijak.
* * *
Diskusi Tadabur Alam: Kepeminpinan
Malam itu begitu tenang. Semilir angin dari arah sawah menyentuh kulit dengan kesejukan alami. Suara jangkrik, kodok, dan binatang kecil lainnya, selalu ikut keheningan malam, seolah turut mencatat kehadiran mereka. Di belakang rumah, cahaya temaram dari lampu templok menciptakan suasana hangat. Tempat itu telah menjadi ruang istirahat dan arena obrolan hangat yang perlahan menjadi kebiasaan di antara mereka.
Bayu dan Toni bersandar santai pada dinding, mata mereka terpaku pada api kecil yang terus menyala. Sementara itu, Rudi, Andre, Paul, dan Doni duduk melingkar di atas potongan batang pohon yang difungsikan sebagai bangku, seolah menanti kehadiran Arief.
Ical tampak sibuk sendiri. Wajahnya serius, matanya menatap layar laptop, ia mengunggah video ke kanal YouTube miliknya. Sesekali, ia mengajak teman-temannya berdiskusi, berharap ide-idenya bisa dituangkan dalam konten yang menarik.
Tak lama kemudian, Arief muncul dari dalam rumah. Ia mendekati Ical sambil menanyakan perkembangan videonya.
“Gimana, Cal? Ada respons dari video kamu? Mereka tertarik nggak sama desa ini dan kegiatan kita?” tanya Arief sembari membuka laptop, bersiap memaparkan langkah selanjutnya.
Ical menghela napas.
“View-nya masih biasa, Pak. Komentarnya juga gitu-gitu aja. Saya lagi mikir, ide apa ya yang bisa bikin mereka tertarik banget?”
Arief tersenyum.