Di tengah hutan lebat yang terabaikan, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan pedesaan, deretan pohon karet mati berdiri kaku, seperti penjaga sunyi masa lalu. Mereka menjadi saksi bisu akan sebuah tempat yang pernah disinggahi riuh—sekarang berubah jadi ruang asing yang bahkan enggan disapa oleh kicauan burung. Hening yang menggantung seperti peringatan halus: manusia tak lagi disambut di sini.
Bankum berdiri tegap di antara rimbun-nya semak, ditemani dua anak buahnya. Ketiganya seperti bayangan dalam tempat tersembunyi yang luput dari penglihatan dunia. Mereka tidak bergerak banyak, tetapi wajah mereka menyimpan ketegangan. Sorot mata mereka waspada, menelisik setiap sudut, seolah waktu bisa mengkhianati mereka kapan saja.
Dari kejauhan, suara mesin mobil mulai terdengar, menggerus keheningan. Perlahan mendekat, lalu berhenti di hadapan mereka. Lampu sein berkedip sekali—kode yang tak memerlukan kata. Seorang pria keluar dari dalam kendaraan dan berjalan ke arah Bankum. Roni.
Bankum melangkah mendekat. Tak ada salam, tak ada basa-basi. Di tangannya sudah tergenggam bungkusan narkoba yang telah dibungkus rapi—siap ditukar, siap menyulut bahaya. Mereka berdiri berhadapan. Di antara mereka, udara terasa lebih berat.
"Ini pengiriman terakhir. Kita mulai kesulitan," kata Bankum pelan, nyaris berbisik, namun cukup untuk memancarkan tekanan. Angin sore menyapu rambut dan daun-daun mati, seolah ingin menyelubungi percakapan mereka dari dunia luar.
Pria bertopi itu tak menjawab, hanya menatap dalam diam. Tapi Bankum melanjutkan, suaranya mengandung kekhawatiran yang coba disembunyikan.
"Bagaimana, sudah ada kabar? Dia sudah bebas. Terus cari tahu keberadaannya. Sekecil apa pun informasi, laporkan segera." Kata-kata itu tak diikuti penjelasan, namun jelas siapa yang dimaksud. Bayangan masa lalu masih membayangi mereka. Sesuatu yang belum selesai.
Tanpa menunggu jawaban lebih jauh, Bankum mengangguk singkat, ke arah anak buahnya. Mereka segera bergerak. Mobil hitam menunggu di balik bayang pepohonan. Satu per satu mereka masuk, meninggalkan pria bertopi dan keheningan yang kini terasa lebih mencekam.
Mesin diesel menyala dengan dentuman kasar, mengoyak senyap yang menjerat hutan. Perlahan, kendaraan itu melaju, menyisakan jejak roda di tanah yang basah setelah hujan semalam. Dari balik kaca gelap, wajah Bankum tampak gelisah. Ia menatap jauh ke depan, tapi pikirannya tertinggal di belakang—pada sosok yang sedang mereka cari, dan badai yang ia tahu akan datang.