Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #22

#22. Untuk Ayahku

Rumah sakit kecil di pinggiran desa itu tampak sepi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki suster yang berlalu-lalang di lorong. Di salah satu kamar rawat, seorang pria tua terbaring lemah. Tubuhnya kurus dan kulitnya pucat, hanya tinggal tulang yang dibalut kulit. Selang infus menempel di hidungnya, sementara napasnya tersengal—seperti desahan panjang antara rasa sakit dan kelelahan. Itulah Pak Tono, seorang ayah yang kini harus melawan penyakit paru-paru kronis yang sudah lama bersarang di tubuhnya dan kini mencapai tahap kritis.

Dari balik kaca jendela, dua pemuda berdiri memandangi sosok renta itu. Ipang berdiri kaku, jemari nya saling menggenggam erat, seperti berusaha menahan gelisah yang tak tertahankan. Di sampingnya, Doni hanya diam. Tatapannya jatuh ke lantai, seolah mencari jawaban yang tidak ada.

Ipang kemudian duduk di bangku panjang di koridor. Wajahnya lesu, sorot matanya suram. Hidupnya selama ini pas-pasan, dan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit: biaya rumah sakit yang terus menggunung. Ia melirik Doni, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun kata-kata itu tertahan di kerongkongan.

“Don, ada yang ingin aku katakan,” ucapnya akhirnya, pelan namun tegas.

Mendengar itu, Doni segera duduk di sampingnya. Ia tahu beban yang dipikul sahabatnya tak ringan. Dalam hatinya, ia berjanji akan berusaha membantu, mengenang kembali wajah Pak Tono yang dulu begitu bersemangat membantu mereka, bahkan mungkin hingga jatuh sakit karenanya. Doni baru menyadari, ternyata Pak Tono telah lama menyimpan penyakit itu.

Ia menatap Ipang, menunggu.

Wajah Ipang masih termenung. Beberapa kali mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Sampai akhirnya, dengan ragu, ia berkata, “Aku butuh bantuanmu, Don. Tapi aku yakin kau pasti nggak akan setuju.”

Doni menyentuh pundak sahabatnya, mencoba menenangkannya. “Kalau aku bisa bantu, pasti akan aku bantu,” katanya lembut.

Ipang menghela napas, lalu menatap Doni lurus. “Aku ingin memperkenalkanmu dengan Pak Santoso. Aku sudah atur semuanya. Kita jalankan lagi bisnis lama kita, Don.”

Mata Doni membelalak. Ia menoleh cepat, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Bisnis lama—masa lalu yang sudah dikuburnya dalam-dalam, masa kelam yang membuatnya kehilangan anak dan istri yang paling ia cintai.

“Kamu gila?” suaranya meninggi, matanya berkilat marah. Tapi amarah itu cepat meredup saat tatapannya kembali ke ruangan tempat Pak Tono terbaring. Ia mengerti. Ini bukan soal keinginan, tapi soal kebutuhan—soal putus asa.

“Kenapa harus aku?” gumamnya lirih, berdiri dan menatap ke depan, kosong.

“Aku bilang ke Pak Santoso bahwa kamu kenal Joehan.”

“ Siapa Pak Joehan?” dengan wajah bingungnnya.

 Dia yang pernah mengajak Pak Santoso di Jakarta. Aku akan ceritakan semuanya nanti,” kata Ipang, nadanya memohon.

Lihat selengkapnya