Udara sore terasa sejuk dan menenangkan ketika langkah Rudi terhenti di tepi sebuah lapangan sepak bola. Dari kejauhan, tampak sekelompok bocah, usia mereka hampir sama, masih duduk di bangku SMP, wajah dengan penuh semangat, dengan kaki mengejar bola. Suara tawa dan teriakan kegirangan menggema setiap kali bola berhasil menembus gawang.
Suara polos anak-anak itu seakan membuka kembali kenangan lama. Rudi, yang dulu pernah berprestasi dan sempat bergabung dalam tim nasional “U21 Persatuan Sepak Bola Jakarta”, kini hanya mengamati dari kejauhan. Matanya terus mengikuti setiap gerakan bola, seolah memantau setiap tendangan. Sesekali, mulutnya bergumam pelan, memberi arahan yang tak terdengar, seakan ia masih menjadi bagian dari permainan.
Keberadaannya di sana seperti menghadirkan kembali kebahagiaan yang pernah ia rindukan—lapangan bola yang dulu menjadi rumah keduanya. Dan saat teriakan "gol" menggema, bibirnya pun tersenyum, mengingat masa ketika kakinya sering mencetak gol ke gawang lawan.
Kini, ia hanya bisa memandang keindahan itu dari sisi lapangan. Pandangannya lalu tertuju pada seorang bocah yang duduk terdiam, hanya menyaksikan teman-temannya bermain— diam, namun penuh makna, seakan mencerminkan dirinya di masa lalu.
Seorang anak duduk termenung. Wajahnya lesu, tatapannya kosong mengarah ke tanah, seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang. Namanya Alif — kapten kesebelasan mereka. Namun, sejak cedera lutut yang dideritanya beberapa bulan lalu, ia tak lagi mampu ikut berlatih. Rasa sakit itu belum juga reda, perlahan memudarkan semangatnya.
Angin sore membawa suara riuh, tengah permain bola. Tiba-tiba, sebuah bola meluncur kencang ke arahnya. Alif tersentak, Suasana terhenti melihat reaksi Alif, dirinya hanya memegang bola seakan ada hal yang mengganjal dalam dirinya, tatapannya juga menatap kawan-kawan.
"Main, yuk!" seru Upin, rekan duet Alif yang dulu paling setia mengisi lini depan. Ia berdiri tak jauh dari tempat Alif duduk.
Alif menggeleng pelan. "Lututku masih sakit," jawabnya lirih, mencoba tersenyum, meski lebih mirip guratan kecewa yang tertahan.
Wajah-wajah bocah itu seketika terdiam. Di antara mereka, kini berdiri seseorang yang tak mereka kenal. Mata-mata kecil saling bertatapan, bertanya dalam diam: Siapa dia? Tak ada satu pun yang merasa pernah melihatnya. Mereka bahkan mulai menduga bahwa pria itu bukan berasal dari desa mereka.
Sosok itu—Rudi—hanya tersenyum tipis. Ia merangkul Alif dan Upin dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan. Tatapannya menyapu wajah anak-anak di hadapannya, tenang namun penuh arti.
“Kenapa kalian ribut? Kalian ini satu tim. Seharusnya saling mengerti saat ada kawan yang sedang bersedih,” ucapnya tenang.
“Dia sedih terus, Om!” celetuk Upin sambil menunjuk Alif. “Padahal dia kapten. Harusnya dia yang nyemangatin kita. Sejak pelatih gak ada, dia kayak kehilangan semangat!”
“Sebulan lagi kita ada pertandingan persahabatan, Om!” tambah Owie dengan nada resah. Sarung tangan di tangannya menegaskan bahwa ia penjaga gawang tim.
Rudi masih terdiam. Ia menatap mereka satu per satu, lalu menunduk, mengambil bola di tanah. Dengan luwes, ia mulai memainkan bola itu—sentuhan ringan, lalu berhenti di kakinya. Tiba-tiba ia menunjuk ke arah sebuah botol yang terletak cukup jauh.