Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #24

#24. Semangat UKM Swa'Dles

Di depan sebuah posyandu tua yang sudah lama terbengkalai, Bayu tampak sibuk bersama beberapa ibu-ibu dan tiga pria lainnya. Mereka berkumpul dalam suasana akrab, sibuk mengolah keripik pedas. Asap harum mengepul dari dua kuali besar, tempat adonan keripik digoreng, sementara tangan-tangan cekatan lainnya mengemas hasil gorengan ke dalam plastik bening.

Meski alat dan tempat mereka sederhana, semangat yang terpancar jelas tak bisa diremehkan. Para pria bekerja serius, mengaduk dan menjaga api, sedangkan para ibu berbincang santai sambil sesekali tertawa. Di tengah keramaian itu, Bayu berdiri dengan wajah berseri, tampak seperti penggerak utama dari kegiatan ini.

"Kita harus punya target," ucapnya penuh semangat. "Nanti, posyandu ini kita jadikan 'Dapoera'—Dapur Era Baru."

Salah satu ibu tersenyum dan menimpali, "Kalau nama produknya, enaknya apa ya?"

Mereka tertawa kecil, lalu kembali pada kesibukan masing-masing. Bayu menambahkan, "Di sini kita buat adonan dan penyelesaiannya saja. Kalau ada yang mau bantu dari rumah juga boleh."

"Ayo, siapa yang punya ide buat nama produknya?" serunya lagi, menyemangati.

"Mak Alay," celetuk Bu Ara sambil tersenyum.

"Makjoss!" sahut Bu Eli dengan tawa.

"Namanya nanti aja, yang penting rasanya dulu enak!" kata Bu Nilam sambil mengunyah keripik yang baru matang. Ia melirik Bayu dan menambahkan, "Kalau bingung, serahin aja ke De Bayu. Mereka kan kreatif, pasti tahu nama yang pas. Ya, De Bayu?"

Bayu tertawa mendengar celetukan para ibu-ibu. Suasana semakin cair ketika Pak Boir ikut bersuara, "Kalau saya ikut aja, deh, gimana baiknya."

Setelah kehebohan kecil itu mereda, Bayu kembali menenangkan suasana. "Bagaimana kalau kita pakai nama 'Swa'Dles'? Singkatan dari Swadaya Desa Lestari. Biar semangat kebersamaannya terasa."

Mereka saling pandang dan mengangguk setuju. Nama itu terasa pas—sederhana, namun penuh makna.

Kegiatan pun kembali berlanjut. Bayu memberikan arahan: hasil olahan boleh dijual sendiri di rumah, ditawarkan saat pengajian, atau dibawa ke pasar oleh tim yang ditugaskan. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana, namun sebuah pertanyaan dari Bu Ara menghentikan sejenak alur kerja mereka.

"Nanti kalau pesanan kita makin banyak, kita butuh modal, kan? Kalau bisa, beli alat juga buat adonan. Saya pengin bikin roti juga, Mas Bayu. Biar produk kita makin beragam. Nah, modal awalnya gimana ya?"

Semua terdiam, berpikir. Ucapan Bu Ara mengandung kebenaran yang tak bisa diabaikan.

Lihat selengkapnya