Wajah Bayu dan Ical tampak serius saat berdiri di depan whiteboard. Sesekali, Bayu menunjuk catatan-catatan produksi yang tertulis di sana. Sudah beberapa hari terakhir ini, target produksi terus meningkat—kripik singkong pedas dan manis, keripik pisang, lempeye kacang, kacang goreng, hingga kacang jagung—semuanya kini dikemas rapi dalam plastik setengah kilo dan diberi label produk “SwaDles.”
Peningkatan jumlah produk itu menarik perhatian masyarakat sekitar. Banyak yang mulai tertarik dan bergabung. Sebagian besar dari mereka memproduksi dari rumah masing-masing, namun tetap menyatu dalam satu merek yang sama.
Begitu pula dengan roti yang diproduksi oleh “Dapoera.” Untuk saat ini, adonan hanya digiling dan disiapkan di satu tempat, yaitu di rumah Bu Nilam. Ia memang telah lama berpengalaman membuat dan menjual roti, sehingga dipercaya untuk menjadi pusat pengolahan sementara.
usaha bersama warga sudah mulai tengah disibukkan oleh geliat usaha kecil menengah yang mereka rintis bersama. Di balik layar, Bayu fokus mengoptimasi konsep dan konten website untuk Desa Leweng Lestari, dirancang agar SEO-friendly dan tetap menarik secara visual dan naratif. Website yang ia buat untuk mendukung promosi kegiatan wisata sawah, UMKM lokal, budaya, atau pertanian desa.
Mereka—memperkuat SEO agar lalu lintas pengunjung meningkat dan produk mereka lebih mudah ditemukan. Sementara itu, Ical tak kalah sibuk. Ia menjelajahi setiap platform media sosial, mengunggah konten secara konsisten, dan mengajukan berbagai proposal promosi untuk memperkenalkan produk andalan mereka, SweDles, ke khalayak yang lebih luas.
Semua anggota kelompok itu bekerja tanpa lelah. Beberapa di antaranya menitipkan dagangan ke warung-warung, sementara yang lain rajin menawarkan produk di pengajian dan pasar-pasar tradisional. Usaha mereka mulai membuahkan hasil. Di papan tulis putih yang tergantung di sudut ruangan, catatan penjualan mulai terisi—baik dari pembeli di pasar maupun dari pesanan yang masuk secara online.
“Kalau kita bisa tembus tiga puluh ribu pengunjung minggu ini, kemungkinan konversinya bisa dua kali lipat,” kata Bayu sambil menatap grafik performa situs web di laptopnya.
“Dari sisi medsos, engagement naik. Reels kita yang terakhir udah tembus 10 ribu views,” sahut Ical tanpa melepas pandangannya dari layar ponsel. “Ada yang DM nanya paket reseller juga.”
Belum sempat mereka lanjut berdiskusi, bunyi notifikasi dari laptop Bayu memecah konsentrasi. Notifikasi dari dashboard penjualan muncul satu per satu.
Tring!
“Eh, pesanan masuk lagi,” seru Bayu. Ia membungkuk ke layar, matanya menyipit membaca detail pesanan. “Tiga puluh paket varian original... dari Tanggerang.”
Ical bersiul pelan. “Mantap. Semoga ini menjadi baik untuk mereka.”
Bayu mengangguk cepat, lalu segera meraih ponselnya. Jemarinya cekatan menekan nomor tim produksi. Tak butuh waktu lama, sambungan tersambung.
"Halo, Bu Nilam? Iya, ini Bayu. Saya mau minta tolong, bisa ditambah dua batch lagi untuk varian original? Permintaan lagi naik. Pengirimannya bisa dipercepat?"
Di seberang, suara Bu Nilam terdengar antusias. "Iya, Bayu. Nah, kan saya sudah bilang, kita butuh alat adonan. Pesanan dari pelanggan saya saja sudah cukup banyak."
Percakapan berlangsung penuh semangat. Siapa sangka, bisnis yang awalnya hanya coba-coba kini kewalahan memenuhi permintaan. Bayu terdiam sejenak, menatap layar ponselnya dengan wajah berpikir.
Tak lama kemudian, ia kembali berbicara, kali ini kepada rekannya. "Icha, tim produksi butuh mesin adonan. Bu Nilam mulai kewalahan dengan orderan yang terus masuk. Produk SweDles kita sudah mulai dikenal, bahkan dari sekadar cemilan, sekarang jadi incaran."
Nada suaranya terdengar penuh semangat. Ia sempat melirik ke arah Ical, memberi isyarat bahwa ia meminta Icha untuk segera mengurus pembelian mesin tersebut. Telepon ia tutup dengan ekspresi lega di wajahnya.
Di tengah kesibukan, mereka saling bertukar pandang dan tertawa. Letih memang, tapi melihat hasil jerih payah perlahan menampakkan wujudnya—semua terasa sepadan.
* * *