Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #27

#27. Kembali Dalam di Dilema

Di tengah sunyi hutan pohon karet, sejumlah mobil tampak terparkir acak dari kejauhan, menciptakan suasana yang janggal di antara batang-batang tinggi dan bergetah. Perlahan, Doni melangkah keluar dari salah satu mobil. Pandangannya tajam, namun langkahnya tetap hati-hati saat mendekati kendaraan lain yang tampak mencurigakan.

Di dalam mobil itu, tiga sosok bertopeng duduk diam, wajah mereka tersembunyi oleh bayangan dan kain. Tanpa sepatah kata, Doni menyelipkan bungkusan coklat ke dalam mobil melalui jendela yang sedikit terbuka. Sebuah anggukan singkat dari salah satu pria bertopeng menjadi isyarat bahwa semuanya telah berjalan sesuai rencana.

Doni segera berbalik arah, mempercepat langkah menuju mobil yang terparkir di seberang jalan. Di dalamnya, tiga orang sudah menunggu dengan sikap siaga. Namun, sesuatu langsung menarik perhatiannya—semuanya mengenakan topeng. Wajah Doni menegang, pikirannya penuh tanya. Ada rasa waswas yang menggelayuti hatinya. Apakah ini semua jebakan? Apakah ia baru saja masuk ke dalam sesuatu yang lebih besar dan berbahaya dari yang ia bayangkan?

Meski gelisah, ia mencoba menenangkan diri. “Hanya menyerahkan barang saja... sesederhana itu?” gumamnya dalam hati. Tapi rasa penasaran tak juga surut. Transaksi yang terlalu mudah ini justru membuatnya curiga. Ada yang tak beres.

Bunyi klakson menyentaknya dari lamunan. Ia menoleh ke belakang dan mendapati mobil bisnis yang barusan mereka gunakan sudah mulai melaju lebih dulu. Doni pun mempercepat langkah.

“Tenang saja, semua sudah diatur oleh Pak Santoso dan orang-orangnya,” ujar Ipang sambil tersenyum santai, mencoba menenangkan. “Urusan kita cuma mengantar.”

Doni masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa. Ia duduk di kursi penumpang, namun sorot matanya tetap menyiratkan kebingungan. Ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dan firasat buruk yang belum juga hilang.

Transaksi berlangsung cepat, tak satu pun kata terlontar. Seolah hutan pohon karet telah menjadi saksi bisu dari kesepakatan gelap yang terjadi di dalamnya—tempat sunyi yang kini berubah menjadi sauna bagi ketegangan dan rahasia.

Angin sore berdesir pelan, menyapu dedaunan karet yang menggantung muram. Sosok-sosok bertopeng di balik kaca mobil, menyatu dengan pikirannya, wajah Doni tampak mulai tenang, matanya menatap kosong ke kejauhan. Itu bukan transaksi pertamanya, tapi mungkin yang paling berat—karena sore itu, bisnis lamanya kembali dimulai.

* * *

Boneka Sawah

Di tengah hamparan tanah lapang yang mulai mengering oleh terik matahari, sekelompok anak-anak berdiri berbaris rapi. Seragam sepak bola mereka nyaris tak bisa dibedakan warnanya—penuh lumpur, peluh, dan bekas-bekas jatuh bangun. Debu dan rumput liar menyatu dengan kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah. Di hadapan mereka, pelatih Rudi berdiri tegap, wajahnya serius tapi matanya menyiratkan semangat. Sebuah peluit tergantung di lehernya, berayun pelan tertiup angin.

"Fokus, ya! Pusatkan tendangan kalian ke boneka sawah itu!" serunya lantang, sambil menunjuk sebuah boneka jerami yang berdiri menyendiri di ujung ladang. Boneka itu, berdiri tegak di antara ilalang kering, menjadi sasaran empuk sekaligus musuh khayalan mereka hari itu.

Anak-anak mengangguk patuh. Mata mereka menatap lurus ke depan—ada yang menyipitkan mata, ada yang menggertakkan gigi. Satu per satu, mereka mengambil ancang-ancang, mengayunkan kaki, dan melepaskan tendangan. Ada bola yang meleset jauh, nyaris mengenai seekor ayam yang kebetulan lewat. Ada pula yang mengenai sasaran tepat di dada jerami, membuat boneka itu bergoyang hebat, hampir tumbang. Tawa meledak dari barisan anak-anak. Alih-alih kecewa, mereka menertawakan setiap kesalahan, seolah setiap tendangan meleset adalah bagian dari kesenangan.

Kini giliran Owiq, si penjaga gawang. Ia berdiri di antara dua batu besar yang dijadikan tiang gawang darurat. Tubuhnya sudah penuh lumpur, tak ada lagi bagian yang bersih. Rudi menepuk bahunya.

“Jangan tunggu bola, Wiq. Tangkap. Nikmati lumpurnya. Ini bukan cuma latihan, ini permainan,” ucapnya, nada suaranya lembut namun sarat makna.

Owiq mengangguk, lalu menyiapkan posisi. Bola meluncur cepat, mengenai dadanya, terpental, dan ia tergelincir jatuh ke dalam genangan air. Cipratan lumpur menyembur ke segala arah. Tapi alih-alih kesal, ia justru tertawa keras, diikuti ledakan tawa teman-temannya.

Latihan terus berlanjut—keringat bercampur lumpur, jeritan semangat bercampur canda. Mereka sudah terbiasa dengan kerasnya latihan Rudi. Bagi mereka, lumpur, air, bahkan nyamuk-nyamuk liar bukan halangan, tapi bagian dari petualangan. Di balik setiap peluit dan instruksi keras, terselip kasih sayang yang mereka rasakan meski tak diucapkan.

Rudi mengamati dari kejauhan, tangannya bersedekap, senyum kecil terukir di wajahnya. Ia tahu, anak-anak itu tak sekadar belajar sepak bola. Mereka sedang belajar tentang kekuatan, tawa, dan kebersamaan. Tentang bagaimana menikmati permainan, bahkan saat kaki penuh luka dan baju tak lagi kering.

Latihan ditutup dengan sorak-sorai dan tawa riang. Anak-anak berlari bebas, saling mengejek dengan candaan khas usia mereka, sebagian bahkan saling melempar lumpur. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, ditutup dengan kebahagiaan yang sederhana—di tengah lapangan yang keras dan basah, mereka menemukan kegembiraan yang tulus, yang tak bisa dibeli dengan apapun.

Lihat selengkapnya