Di belakang pondok bascamp yang sunyi, sebatang tong besi berdiri tegak, menjadi wadah bagi api unggun kecil yang menyala tenang. Nyala apinya memantulkan bayangan pada wajah Arief yang tampak diam dan tenggelam dalam pikirannya. Ia duduk membungkuk sedikit, kedua telapak tangannya merapat ke arah api, sesekali membalik kayu yang terbakar agar panasnya merata.
Dari tempat duduknya, mata Arief kadang melihat ke arah hamparan sawah yang luas, diterangi samar cahaya bulan. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan udara yang begitu segar, menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Di balik kesendiriannya malam itu, ada ketenangan semu yang menyelimuti tubuh dan pikirannya.
Tak lama, terdengar suara langkah ringan dari belakang. Arief menoleh sedikit, tanpa rasa terkejut. Seseorang muncul dari balik bayang-bayang pondok—wajahnya samar, sebagian tertutup kupluk dan syal gelap. Orang itu berdiri sejenak sebelum membuka suara.
“Rencana sudah bejalan, kita tinggal menunggu selanjutnya” ucapnya pelan,
Arief hanya mengangguk tanpa membalas. Percakapan mereka berlangsung pelan, namun terasa penuh makna. Seakan setiap kata yang terucap telah dirancang sebelumnya, seperti bagian dari tugas yang sudah lama disusun.
Kemudian, orang itu mengulurkan sebuah amplop coklat. Arief menerimanya dengan anggukan kecil dan senyum tipis yang sulit ditebak artinya. Tanpa menunggu lama, orang asing itu segera berbalik dan menghilang ke dalam gelapnya malam, seolah tak pernah ada.
Kini hanya suara api yang kembali terdengar, berdesis pelan saat kayu retak dibakar bara. Arief menatap amplop coklat itu dalam diam. Lalu, perlahan, ia membuka segel dan mengeluarkan isi di dalamnya—sebuah plastik bening berisi bubuk putih, dan secarik kertas kecil bertuliskan: “Untuk Tuan J.”
Tanpa ragu, Arief menyulut api pada sepotong kayu, lalu membakar bubuk putih itu hingga menghitam dan mengepul. Asapnya menguar pelan ke udara malam, bercampur dengan aroma kayu dan bara.
Amplop itu ia letakkan begitu saja di atas meja kayu di samping tong. Seolah tak penting lagi, atau sengaja dilupakan. Tanpa menoleh ke belakang, Arief berdiri dan masuk kembali ke dalam pondok, membiarkan malam dan rahasia itu tetap di luar, terbakar bersama api yang nyaris padam.
* * *
Icha dan Bayu
Beberapa hari yang lalu di tempat ini awal pertengkaran mereka, namun, kini Bayu dan Icha tampak lebih akrab. Di dekat sebuah saung reyot di pinggir sawah, setelah mereka seharian penuh mengerjakan Gazebo, lelah mereka beristirahat sejenak sambil menimati sore hari.