Senja mulai merayap di langit Desa Leweng Lestari, mewarnai lapangan desa dengan cahaya keemasan yang lembut. Di tengah hamparan rumput yang mulai menguning, lapangan tanah merah itu mulai dipenuhi langkah-langkah kecil yang penuh semangat. Anak-anak datang satu per satu, mengenakan kaus seadanya, sebagian membawa bola, sebagian lagi hanya membawa senyum dan semangat.
Tawa riang anak-anak yang tengah berlatih sepak bola. Mereka berlari, menggiring bola, dan sesekali terjatuh, namun semangat di wajah mereka tak pernah pudar. Mereka kini merasakan bermain bola, bukan hanya sekedar main, namun, ada yang baru setelah yang lama hilang.
Di pinggir lapangan, Rudi dengan mata tajam dan postur tegap. dengan tangan bersedekap, ia mengamati setiap gerakan anak-anak—cara mereka menendang, mengoper, dan bekerja sama. Sesekali, ia mengangguk pelan, mencatat dalam benaknya siapa yang mulai memahami teknik dengan baik dan siapa yang masih perlu bimbingan lebih.
Sebagai Pelatih, lapangan ini bukan sekadar tempat bermain. Ini adalah ladang harapan, tempat mimpi-mimpi kecil mulai tumbuh, ia berusaha bukan hanya menjadi pemian bola
Rudi berdiri di tengah lapangan, meniup peluit pendek. Suaranya menggema, membuat para bocah langsung berlari kecil mendekat, membentuk setengah lingkaran di depannya.
“Kita mulai dengan pemanasan dulu!” serunya.
Anak-anak pun mulai mengitari lapangan, berlari kecil sambil tertawa. Setelah dua putaran, mereka melakukan high knees, jumping jack, dan peregangan ringan. Keringat mulai membasahi pelipis mereka, namun sorot mata mereka tetap cerah.
“Sekarang, kontrol bola!” lanjut Rudi sambil menunjuk deretan cone yang ia susun sebelumnya.
Mereka bergiliran menggiring bola melewati cone, belajar menggunakan kaki bagian dalam, luar, dan sesekali telapak kaki untuk menghentikan bola. Beberapa terhenti di tengah jalan, bingung. Tapi Rudi hanya tersenyum, sabar mendekat dan membimbing satu per satu.
“Lempar bola ke temannya. Oper, jangan ditendang sembarangan!” teriaknya kemudian.
Latihan operan dimulai. Anak-anak membentuk pasangan, saling mengoper dengan kaki bagian dalam. Suara bola memantul, sesekali dibarengi tawa saat bola melenceng jauh dari sasaran.
Setelah itu, Rudi membagi mereka ke dalam dua tim kecil. “Sekarang, kita main cepat. Tiga lawan tiga!”
Permainan pun dimulai. Tidak ada strategi rumit, hanya semangat membara. Mereka mengejar bola seperti mengejar mimpi—gairah yang belum ternodai rasa takut gagal.
Setelah sekian lama tak menginjakkan kaki di lapangan, mereka digembleng dalam kerasnya medan alam. Latihan itu membuahkan hasil: permainan mereka kini tampak lebih terkontrol, tidak lagi liar seperti sebelumnya. Semangat mereka menyala, namun tidak meledak-ledak—justru menciptakan kekompakan yang kuat dalam pola permainan baru. Langkah-langkah mereka kini terasa lebih gesit, ringan, seolah tak terbebani oleh apa pun. Di mata siapa pun yang melihat, mereka sudah seperti pemain sepak bola profesional.
Di pinggir lapangan, Rudi berdiri dengan tangan bersedekap, mengamati mereka dengan penuh perhatian. Baginya, ini bukan sekadar latihan. Ini adalah awal perjalanan panjang. Dan setiap langkah kecil yang mereka ambil hari ini, akan menentukan seberapa jauh mereka bisa mencapai mimpi.
* * *
Hasil Memuaskan
Suasana bangunan Posyandu, kini telah transformasi, menjadi dapur produksi yang hidup. Dinding-dindingnya masih sama, catnya pun belum sepenuhnya baru. Namun, semangat yang mengisi ruangan itu berubah total, setiap pagi, aroma adonan roti dan wangi sambal tumis menyambut siapa saja yang masuk. Meski sederhana, tempat itu seolah menjadi tempat baru bagi para ibu di desa.
Wajah-wajah ibu-ibu terlihat sibuk namun berseri. Tangan mereka lincah menakar, mengaduk, memanggang, dan mengemas. Di sudut ruangan, yang sudah di sulap menjadi dapur, Bu Nilam tampak bersemangat mengaduk adonan roti dalam baskom besar. Peluh membasahi pelipisnya, tapi senyumnya tak lepas saat ia berbincang dengan Bu Ara, mendiskusikan takaran selai srikaya yang baru mereka racik semalam.
Sementara itu, di halaman pos yandu, Bu Eli duduk di meja pengemasan, menempelkan stiker logo usaha kecil mereka ke kemasan plastik. Tangannya cekatan, satu persatu roti manis isi cokelat, dan kacang hijau, dimasukkan ke dalam bungkusan bening. Di dekatnya, beberapa ibu lain sibuk menyusun kripik singkong aneka rasa—pedas, keju, dan balado—ke dalam kardus besar. Produk mereka kini jauh lebih bervariasi dari saat pertama kali memulai: singkong keju beku, tape kemasan, keripik pisang rasa-rasa, dodol pisang, hingga sambal botolan yang kini mulai bertambah, seiring, diminati warga yang sudah mulai bergabung untuk menaruh dagangannya.
Tak hanya ibu-ibu, beberapa bapak juga turut membantu. Ada yang mengangkat loyang besar dari oven, ada pula yang menyusun kardus hasil produksi di bagian depan, bersiap untuk dikirim.
Tiba-tiba, suara dari kejauhan, memecah kesibukan. Bayu dan Icha datang dengan langkah cepat dan wajah yang sumringah. Pagi itu, Bayu datang dengan wajah cerah. Ia membawa kabar baik Senyumnya lebar, matanya berkilat seperti menyimpan kabar baik.