Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #30

#30. lumpur dan Bambu

Sore itu, di sebuah lapangan sawah yang becek dan berlumpur, latihan tim sepak bola berlangsung tidak seperti biasanya. Langit mendung begitu rendah, seolah ikut mengamati deretan anak-anak yang berdiri rapi, menanti instruksi. Di barisan paling depan, Alief, sang kapten tim, berdiri tegap dengan tatapan penuh tanya, sesekali melirik ke arah pelatih mereka.

Rudi melangkah ke depan, membiarkan sejenak kesunyian mengikat perhatian mereka. “Kalian mungkin bertanya-tanya,” ujarnya sambil menyapu pandang ke wajah-wajah muda itu, “kenapa kita latihan di tempat seperti ini. Di alam. Di lumpur. Di tempat yang tidak nyaman.”

Ia menghela napas, lalu melanjutkan, “Karena sepak bola bukan hanya soal teknik. Tapi juga soal keberanian, ketahanan, keseimbangan dan rasa kebersamaan. Kalian kemaren menaiki bukit, berlari mengitari pohon-pohon, berendam di air yang dingin, dan sekarang… kalian menyatu dengan lumpur.”

Alif menunduk sejenak, merasakan dingin lumpur menembus sela-sela jarinya. Namun saat ia mengangkat kepala, ada nyala baru di matanya—sebuah pemahaman yang perlahan tumbuh. Ini bukan sekadar latihan. Ini pembentukan jiwa.

Pelatih itu berdiri di tengah lapangan, dikelilingi oleh para pemain muda yang kelelahan namun masih menyimpan semangat di mata mereka. Senja mulai turun, mewarnai langit dengan semburat oranye yang hangat. Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, ia mulai berbicara. 

"Aku tidak ingin kalian hanya menjadi pemain bola," ucapnya, matanya menyapu wajah-wajah muda di hadapannya. "Aku ingin kalian belajar menjadi manusia yang kuat. Pertandingan di lapangan ini hanyalah sarana—alas tempat kita melatih bukan hanya fisik, tapi juga mental. Di sinilah kita belajar menghadapi tekanan, menerima kekalahan, dan tetap berdiri setelah jatuh."

Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, "Kita bisa mengambil teladan dari Nabi kita, Muhammad SAW. Keteguhan hati, kesabaran, dan semangat belajar beliau dalam menghadapi hidup—itulah yang seharusnya menjadi motivasi kita. Sepak bola bisa menjadi jembatan untuk mengenali kekuatan itu dalam diri kita sendiri."

Anak-anak itu terdiam, mendengarkan dalam hening. Di tengah lelah dan keringat, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar menang atau kalah. Ada pelajaran hidup yang pelan-pelan mereka pahami.

"Nabi Muhammad SAW bukan hanya pemimpin yang agung, tapi juga simbol ketangguhan sejati. Beliau diuji dengan hinaan, ditolak oleh kaumnya, bahkan disakiti oleh orang-orang terdekat — namun beliau tidak membalas dengan amarah, melainkan dengan kesabaran dan akhlak yang agung. Dari beliau kita belajar: ketangguhan sejati lahir dari hati yang sabar dan jiwa yang bersih. Di lapangan sepak bola, tantangan datang silih berganti — pelanggaran, ejekan, bahkan kekalahan. Tapi ingatlah, pemain yang kuat bukan yang cepat marah, tapi yang tetap tenang, jujur, dan pantang menyerah. Karena kemenangan besar tak hanya ditentukan oleh skor, tapi juga oleh siapa yang tetap menjaga akhlaknya, sikapnya hingga peluit terakhir berbunyi." Rudi tersenyum kecil melihat reaksi anak-anak itu. “Kita bukan sedang main bola saja. Kita sedang membentuk karakter. Di sini, kalian akan belajar lebih dari yang kalian kira.”

Di sela keheningan, Owiq sang penjaga gawang tiba-tiba berkata, "Pak, ceritain dong tentang Sultan Al-Fatih, Penakluk Konstantinopel. Kalau Nabi Muhammad, Pak Ustad sering cerita..."

Rudi, pelatih mereka, tersenyum tipis mendengar permintaan itu. Ia mengangguk pelan. “Hmm, nanti ya. Saya cari dulu bukunya,” jawabnya singkat, tapi cukup untuk menyulut rasa ingin tahu.

Beberapa menit kemudian, teringat oleh sebuah adegan dari film motivasi Facing the Giants, Rudi menghampiri tiga pemain andalan timnya: Alif sang kapten, Upin, dan Boang. Wajahnya serius, penuh perhitungan. Ia menunjuk ke arah ujung sawah yang berlumpur, kira-kira lima puluh meter jauhnya.

“Menurut kalian, sejauh mana kalian bisa jalan di lumpur itu?” tanyanya datar, tanpa ekspresi. Ketiganya tertawa kecil. Tantangan itu terdengar remeh bagi mereka.

“Sampai ujung pasti bisa, Coach!” sahut Upin penuh percaya diri.

Tapi senyum mereka cepat memudar saat Rudi berjalan ke semak-semak di pinggir sawah dan kembali sambil mengangkat sebatang bambu besar, panjang, dan jelas berat.

“Kalian akan memanggul ini bersama-sama,” katanya tegas. “Dan mata kalian akan ditutup.”

Mereka terdiam. Tawa berubah jadi tatapan ragu. Ketika bambu itu sudah di pundak mereka dan kain penutup mata dikenakan, langkah pertama pun menjadi beban. Lumpur menyambut kaki mereka dengan dingin dan dalam—nyaris se-lutut. Setiap langkah terasa seperti menarik beban berkali lipat.

“Ini nggak mungkin, Coach!” teriak Boang, napasnya mulai tersengal.

Namun Rudi tak bergeming. Suaranya meninggi, penuh semangat, “Jangan menyerah! Kalian lebih kuat dari yang kalian kira!”

Dari pinggir sawah, suara sorakan mulai terdengar. Rekan-rekan se tim mereka berseru-seru, memberi semangat.

“Ayo, Alif! Kalian pasti bisa!”

Teriakan itu mengalir seperti energi. Alif melirik ke arah Upin dan Boang—meski tak bisa saling melihat, mereka saling tahu. Anggukan kecil disusul gerakan bahu yang se-irama, menguatkan tekad mereka. Mereka adalah tombak di lapangan, dan ini ujian jiwa mereka.

Langkah demi langkah, lumpur menghisap kaki mereka. Keringat bercampur lumpur membasahi wajah. Nafas mereka berat. Sesekali terdengar suara rintihan dan bentakan antar kawan untuk menjaga keseimbangan.

"Aduh, pungung pegel!" keluh Upin ketika sempat tergelincir, tapi ia bangkit lagi. Alif menggertakkan gigi, tubuhnya gemetar, “Pak… saya udah nggak kuat...”

Rudi tak membiarkan mereka menyerah. Ia tahu mereka pasti mampu lebih jauh dari mereka kira, dari mulut Alif berteriak, di sambut suara erengan mulut Upin dan Boang, sekali mereka beristirahat namun, suara Rudi begitu keras memberi komando

“Sedikit lagi! Ayo semangat! SEMANGAT!” teriaknya lantang.

Sampai akhirnya, setelah waktu yang terasa seperti lamanya, langkah mereka berhenti. Dengan wajah menunduk ke lumpur, keringat dan lumpur menyatu di tubuh mereka. Nafas mereka tak berhenti turun naik.

“Nah, sekarang... buka penutup mata kalian.”

Perlahan, satu per satu membuka ikatan kain di mata mereka. Mata Alif membelalak, napasnya memburu. Di sampingnya, Upin dan Boang memandang ke belakang—mereka terdiam. Mereka bukan hanya mencapai batas sawah. Mereka telah melampauinya.

Mereka berhasil. Tanpa mereka sadari, mereka sudah jauh melangkah lebih dari yang mereka yakini mampu. Dengan rasa terharu saling memandang, mereka saling merangkul, seakan ada kepercayaan, saling mendukung, jiwa mereka menyatu dalam kebersamaan.

"Ingat, kemampuan itu bukan soal apa yang kau lihat!, "kata Rudi dengan senyum lelah. Lanjutnya, "tapi soal rasa dalam hati, rasa kemauan, keinginan, dan semangat yang kuat. Kalau itu ada, apa pun bisa tercapai."

Ucapannya menggema di tengah napas mereka yang masih terengah. Alif, Upin, dan Boang berdiri di atas pijakan lumpur, tubuh mereka kotor, tapi senyum mereka tak bisa disembunyikan. Di balik kelelahan yang menyelimuti, ada rasa bangga dan bahagia—mereka telah melangkah bersama, dan kini mereka tahu, mimpi bukan sekadar angan.

Lihat selengkapnya