Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #31

#31. Total Warga Semangat Membangun

Pagi masih hangat, suasana di lahan wisata Sawah, dipenuhi semangat dan keceriaan. Dari anak-anak hingga orang dewasa, semua larut dalam satu tujuan: membangun tempat wisata yang mereka mimpi kan bersama.

Anak-anak tampak antusias mengangkat bata merah dari bak mobil. Di sudut lain, para pemuda sibuk mengaduk semen dan menyusun dinding-dinding pondok foodcourt. Suara palu bersahutan, menyatu dengan tawa dan obrolan hangat yang mengalir di antara para pekerja.

Beberapa pria terlihat fokus mengerjakan atap, ada merakit meja dari papan, yang telah dipotong. Di dalam ruangan utama, pekerja lain mulai memasang wall panel, membentuk ruang-ruang untuk kasir dan dapur kecil. Sementara itu, pagar mini yang mengelilingi area kafe mulai tampak bentuknya, disusun rapi dari kayu yang baru saja digergaji.

Di tengah hiruk-pikuk itu, para ibu dan wanita tak kalah sibuk. Mereka menyiapkan kopi, menghidangkan makanan kecil untuk para pekerja, dan menjaga alur kegiatan tetap hidup. Icha, dengan celemek lusuhnya, menggoreng pisang di atas tungku, aromanya tersebar mengundang selera.

Andre, sang arsitek, berdiri di tengah keramaian dengan kertas desain di tangan. Ia berdiskusi serius dengan Arief, memastikan setiap detail pembangunan sesuai rencana.

Tak ada yang tampak lelah hari itu. Semua seperti berada dalam liburan yang berbeda—liburan yang diisi dengan semangat gotong royong, canda tawa, dan rasa memiliki atas tanah, yang kini tengah mereka wujudkan, menjadi tempat wisata idaman.

Warga desa tampak kompak sejak pagi. Mereka membagi tugas dengan rapi untuk membangun foodcourt yang nantinya menjadi pusat kuliner wisata Sawah. Pondasi sudah mulai digali beberapa hari sebelumnya, dan hari ini beberapa orang mulai memasang batu kali sebagai dasar, sementara para pemuda mengangkat semen dan menyiapkan sloof beton bertulang.

Tiang-tiang utama dari kayu kelapa berdiri satu per satu, dibantu alat sederhana dan kekuatan gotong royong. Di sudut lain, sekelompok pria menyusun rangka atap dari bambu, yang nantinya akan dilapisi rumbia. Beberapa dari mereka naik ke atas, sambil mengikat tali ijuk dengan cekatan. Suara paku, palu, percakapan dan tawa selalu ada, menyatu dalam ritme kerja mereka.

Bagian dinding mulai terbentuk—setengahnya dari batako yang diplester, sisanya dari bambu anyaman yang dirangkai oleh tangan-tangan terampil. Di dekat lokasi kasir, Toni dan beberapa anak muda, merakit panel kayu daur ulang, untuk membuat sekat antar ruang. Tidak jauh dari situ, papan jati belanda dibentuk menjadi meja makan panjang. Beberapa warga mengamplas dan memelitur permukaan kayu, agar tetap menampilkan serat alaminya.

"Konter kasir di sini aja ya, biar tengah dan gampang kelihatan dari semua sisi," kata Arief sambil menunjuk ke area depan. Andre, sang arsitek, mengangguk setuju sambil mencoret-coret sketsa. Mereka berdua lalu bergerak ke sisi lain, mengecek pergola pintu masuk, yang tengah dibangun warga dengan rangka kayu ringan. "Nanti rambatannya pakai bougenville ya, biar mekar warna-warni," ujar salah satu ibu sambil mengikat batang tanaman di tiang bambu.

Di tengah keramaian itu, Ical terlihat sibuk dengan kamera ponselnya. Dengan gaya santai dan wajah penuh antusias, ia merekam proses pembangunan dari berbagai sudut. Sesekali, ia menghampiri warga dan mewawancarai mereka dengan gaya jenaka.

"Bu, semangatnya dari mana ini, kok nggak habis-habis?" tanyanya sambil merekam wajah Bu Rini yang sedang mengaduk adonan gorengan.

"Semangatnya dari kopi, Cal!" jawab Bu Ara disambut tawa semua orang. Ical tersenyum puas, lalu melanjutkan liputannya, menjadikan momen gotong royong ini sebagai dokumentasi penting untuk media sosial komunitas desa.

Di sisi timur lahan wisata Sawah, aliran sungai kecil mengalir pelan membelah hamparan padi yang mulai menguning. Di atas aliran itu, berdirilah deretan pergola kayu yang kini menjadi daya tarik baru di antara hijaunya desa. Tempat itu awalnya hanya memiliki tiga pergola kecil sebagai tempat bersantai para petani saat istirahat, tapi kini, atas inisiatif warga dan dukungan semangat gotong royong, jumlahnya telah bertambah menjadi delapan. Target mereka: sepuluh pergola dengan nuansa alami yang berpadu dengan pesona sawah dan gemericik air.

Setiap pergola dibangun dengan teknik sederhana namun penuh pertimbangan. Tiang-tiang utama terbuat dari kayu kelapa atau bambu besar yang telah diawetkan, ditanam kuat pada pondasi batu kali di pinggir sungai. Lantai pergola disusun dari papan kayu jati belanda, bekas peti kemas yang dibersihkan dan diamplas hingga halus. Papan-papan itu dirangkai melintang dengan jarak rapat, memastikan kenyamanan saat pengunjung duduk atau selonjor santai di atasnya.

Di atas, rangka atap dibuat dari bilah bambu, disusun sejajar lalu diberi lapisan peneduh dari kain goni atau jaring rambat. Beberapa pergola mulai dihiasi tanaman rambat seperti sirih, morning glory, hingga bunga air mata pengantin, yang kelak akan menjalar menutup bagian atas, memberi keteduhan alami.

Antara satu pergola dan pergola lainnya dihubungkan oleh jalan kecil dari batu loncatan, berpola melingkar mengelilingi tepi sungai. Anak-anak desa membantu mengangkat batu, menatanya di sela rumput gajah mini yang baru ditanam.

Sambil bekerja, suasana tak pernah kehilangan tawa. Di sela-sela pekerjaan, Ical, pemuda kreatif desa, tak lelah merekam kegiatan mereka. Dengan kameranya, ia membuat dokumentasi pembangunan ini menjadi kisah yang hidup: mewawancarai Pak Musa saat memaku papan, menangkap momen ketika papan terjatuh ke sungai dan semua tertawa, atau saat para ibu bersenda gurau menyuguhkan teh dan gorengan ke para pekerja.

“Kalau sudah jadi sepuluh, yang terakhir kita cat warna-warni buat spot foto ya,” celetuk Arief suatu sore, disambut sorakan setuju.

Kini, delapan pergola sudah berdiri kokoh. Dua lagi sedang dalam pengerjaan. Tapi bahkan sebelum genap sepuluh, tempat ini telah menjadi favorit warga. Anak-anak sering bermain di sekitar aliran air, remaja duduk sambil merekam video, dan para ibu menikmati sore dengan melihat langit jingga di antara padi yang bergoyang.

Pergola di atas sungai bukan sekadar bangunan. Ia adalah simbol dari mimpi yang dikerjakan bersama, dengan tangan-tangan penuh semangat, dan hati yang terikat pada tanah desa.

Sementara itu, para ibu menyeduh kopi dan menyiapkan pisang goreng. "Istirahat dulu, ini kopi dan cemilannya," kata Bu Rini sambil membagikan gelas-gelas bambu. Suasana penuh semangat, seperti pesta kecil yang dipenuhi kerja keras dan harapan.

Arif melangkah mendekati Andre, Toni, dan Ical yang sedang berdiri di tepi sawah. Angin sore meniup pelan, menggerakkan pucuk-pucuk padi yang menguning di kejauhan. Arif menunjuk ke arah bukit, lalu menggeser arahnya ke sungai kecil yang mengalir tenang, dan akhirnya berhenti di hamparan sawah luas yang membentang sejauh mata memandang.

Ia mulai menjelaskan konsep wisata berbasis alam yang telah lama mereka rancang bersama. Beberapa bagian sudah dikerjakan, tapi masih banyak yang harus diwujudkan. Ia membayangkan deretan saung makan dan gazebo garden, berdiri di titik-titik strategis sepanjang pematang sawah, tempat pengunjung bisa bersantai sambil menikmati makanan tradisional.

Lihat selengkapnya