Suasana malam, di gudang beras milik Santoso, suasana mulai lengang. Lantainya masih dipenuhi sisa-sisa padi yang berceceran, bekas aktivitas yang kini nyaris terhenti. Para pekerja satu per satu menghilang, enggan kembali karena upah yang tak sepadan dengan kerja keras mereka. Lembur tak lagi dihitung, apalagi dibayar. Bonus? Sekadar janji kosong yang tak pernah datang.
Di dalam gudang yang remang-remang itu, empat sosok masih bertahan. Bankum, pria bertubuh kekar dengan sorot mata tajam, berdiri di tengah ruangan. Di sekelilingnya, tiga anak buahnya mendengarkan dengan seksama. Wajah mereka serius, di tiap garis wajah, pembicaraan mereka seakan merencanakan sesuatu. suara perintah Bankum seolah di ikuti dengan anggukan setuju."Mereka mulai berani menentang," suara Bankum pelan namun penuh tekanan. "Semua ini karena Pak Santoso terlalu lemah. Dia sepertinya sudah tak percaya lagi dengan kita."
Ia melemparkan pandangan tajam ke arah ketiga orang di depannya. "Sekarang waktunya kita bertindak."
Dari balik jaketnya, Bankum mengeluarkan sebuah kotak kecil dan menyerahkannya kepada salah satu anak buahnya. Tak ada penjelasan panjang. Isinya tak perlu diucapkan—mereka semua tahu maksudnya.
Ketiganya mengangguk serempak, lalu berbalik dan berjalan keluar, langkah mereka mantap dan berat, seperti membawa bayangan rencana gelap yang mulai bergerak dalam diam.
* * *
Terbaring Menikmati Hammock
Malam mulai turun perlahan, menyelimuti lembah dengan udara sejuk dan tenang. Lampu gantung telah terpasang rapi, menggantung indah di setiap sudut bangunan. Kilau cahayanya memantul di permukaan kayu dan kaca, menciptakan suasana hangat yang menyambut. Di area foodcourt, kehidupan malam mulai terasa—suasana kafe sawah itu pelan-pelan membangun karakternya. Titik-titik cahaya tersebar di sepanjang aliran sungai kecil yang melintas, menerangi arus yang tenang. Di atasnya berdiri beberapa gazebo, tampak teduh dan memikat dalam cahaya temaram. Lampu-lampu berdiri anggun di pinggir sawah, menambah kesan magis malam itu.
Dari kejauhan, di atas bukit yang rindang oleh pohon-pohon pinus, tiga sosok tampak bersantai di hammock yang digantung di antara batang-batang pohon. Ical, Andre, dan Toni merebahkan tubuh mereka, membiarkan angin malam membelai wajah mereka dengan lembut. Kesejukan hutan menyatu dengan rasa puas setelah seharian bekerja, dan dari ketinggian itu, mereka menikmati pemandangan hasil jerih payah mereka yang kini mulai bercahaya.
Namun, ketenangan itu terusik oleh sebuah bayangan. Dari balik semak, dua sosok samar terlihat mengendap-endap, perlahan bergerak menuju arah kincir air di bagian bawah bukit. Toni, yang paling peka malam itu, segera bangkit dan menunjuk ke arah bayangan tersebut.
"Eh, kalian lihat itu?" bisiknya kepada Andre dan Ical.
Ketiganya langsung duduk, menajamkan pandangan ke arah yang dimaksud. Tak lama kemudian, salah satu dari sosok itu terlihat jelas melintas, lalu bergerak naik menuju bukit, menghilang di balik pepohonan.
Tanpa banyak bicara, mereka bertiga turun dari hammock dan segera menuju lokasi kincir air. Langkah mereka cepat tapi hati-hati. Namun sesampainya di sana, tak ada yang aneh. Kincir air berputar seperti biasa, tak ada tanda-tanda gangguan, dan tak satu pun jejak mencurigakan tertinggal di sekitar.
Mereka saling pandang. Rasa waspada perlahan mereda.
"Udahlah, kita balik ke hammock aja," kata Andre, setengah menguap. "Besok pagi kita periksa lagi. Malam ini kita nikmatin aja dulu."
Mereka pun kembali ke atas bukit, membiarkan kegelapan malam menenangkan kembali suasana. Di antara suara serangga dan desir angin pinus, ketiganya kembali merebahkan tubuh, menyatu dengan malam yang menyimpan rasa damai dan sedikit teka-teki.
* * *