Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #37

#37. Peresmian dan Pengkhianatan

Café di tepi sawah, malam ini tampak semarak. Lampu-lampu hias menggantung di setiap sudut, menciptakan nuansa hangat dan hidup. Warga berdatangan dengan wajah riang, memenuhi area café yang menghadap hamparan sawah,—yang telah disulap menjadi destinasi wisata. Ada yang berfoto di gazebo, berswafoto di depan photobooth, atau sekadar duduk santai menyeruput kopi. Suasana begitu hidup dan penuh ceriah.

Lampu-lampu juga menerangi sawah di kejauhan, menyorot glamor tenda-tenda beberapa glamping, gazebo di atas sungai, dan saung minimalis yang berjajar rapi. Tak jauh dari situ, kincir air raksasa berdiri megah, suara putaran nya, menjadi pusat perhatian pengunjung.

Di dekat meja kasir foodcourt, antrean mengular. Layar besar telah dipasang di pelataran, malam ini adalah malam yang istimewa—peresmian Wisata Sawah, Hadir Lurah Sabari, dijadwalkan membuka acara secara simbolis. Warga begitu antusias. Anak-anak tim Persela ikut hadir, sementara orang dewasa larut dalam obrolan hangat. Tapi di tengah keceriaan itu, sesuatu yang tak biasa mulai tampak.

Dari arah jalanan Pak Santoso, yang cukup disegani di desa, berjalan perlahan dengan bantuan tongkatnya. Di sampingnya, Icha tampak gelisah, wajahnya menyiratkan kecemasan. Ia melirik ke belakang—rombongan Bankum, Roni dan enam orang pengikutnya. Santoso mendekat. Mata mereka tertuju pada Arief, yang tengah berbincang dengan Lurah Iksan.

Mereka mendekat ke area utama. Tatapan mata mereka tertuju pada Arief, asik berbincang dengan Lurah Sabari. Santoso tersenyum, senyum yang sulit ditebak maknanya.

“Luar biasa... Kalian memang luar biasa,” ucapnya lirih, namun cukup jelas untuk didengar orang-orang di sekitar. “Hati kalian sungguh mulia. Kalian berhasil merebut simpati masyarakat... tanpa mereka tahu siapa kalian sebenarnya.”

Ia berhenti sejenak, menatap kerumunan. Tatapannya seolah menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ucapannya.

“Apa kalian tak curiga?” lanjutnya pelan, lalu kembali melangkah mendekati Arief.

Warga mulai menunjukkan ekspresi bingung. Ketegangan perlahan muncul. Toni, Andre, Ical, dan Paul berdiri di belakang Arief, diam, namun waspada. Mereka tampak menunggu sinyal darinya.

“Kenapa orang ini, begitu peduli pada kampung kita? Apa ada maksud tersembunyi?” kata Santoso sambil menatap langsung ke arah warga. “Atau mungkin mereka hanya ingin membangkitkan kembali semangat kalian, yang terlalu lama tertidur, terlalu lama diam…”

Langkah Santoso terhenti di depan Arief. Ia menepuk bahu Sabari, sahabat lamanya. “Pak Sabari, kau harus berterima kasih pada mereka. Kita pernah punya mimpi... mimpi yang terkubur lama. Lihatlah, tempat ini kini indah—terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja.”

Ia menunjuk ke arah sawah yang telah disulap menjadi kawasan wisata yang memesona. “Sebagai rasa terima kasih, aku ingin menyumbangkan sesuatu untuk pembangunan desa ini. Di dalam kepingan emas dan berapa uang.” Santoso menunjukkan tas koper yang ia bawa.

Bankum tampak gelisah. Ia melirik ke arah anak buahnya, seakan tak percaya pada yang dilakukan Santoso.

“Tapi,” lanjut Santoso, menatap Arief, “aku juga ingin sesuatu darimu—sebagai kenang-kenangan dari orang yang telah mengubah wajah desa ini.”

Arief tersenyum. “Saya pun berterima kasih kepada Pak Santoso, seorang yang selama ini membantu warga dalam diam.”

Ia mengeluarkan kotak kecil dari saku jaket nya. “Ini untuk Bapak. Saya yakin Anda akan menyukainya.”

Namun suasana tiba-tiba berubah. Teriakan nyaring terdengar dari arah belakang.

“Bohong! Jangan percaya! Itu palsu!” seru Bankum dengan nada tinggi.

Semua mata menoleh. Pak Santoso menatap tajam. “Darimana kamu tahu itu palsu?” tanyanya datar.

Dengan percaya diri, Bankum mengeluarkan kotak serupa dari sakunya. “Ini yang asli!” katanya lantang.

Arief menatapnya tajam. “Dari mana kau dapat kotak itu?”

Lihat selengkapnya