Kami Rindu Muhammad

Harredeep
Chapter #39

#39. Perjuangan tak Pernah Mengkhianati - Happy Ending

Pagi itu, matahari memeluk hamparan sawah dengan sinar keemasannya. Bayu, Arief, Toni, dan Andre berdiri sejajar di di belakang pondok, memandang takjub ke arah lahan yang dulu hanya ladang kosong—kini telah menjelma menjadi surga kecil yang hidup.

Kincir air berputar perlahan, memantulkan cahaya pagi, menambah pesona lanskap yang tertata rapi. Di belakang mereka, sebuah kafe berdiri anggun, menempati lahan seluas lima ribu meter persegi. Sementara itu, saung-saung mini dan gazebo berjajar sepanjang aliran sungai, seperti ornamen alami yang menyatu dengan lingkungan.

Mereka tersenyum, bukan hanya karena keindahan yang terbentang di depan mata, tetapi karena ingatan akan perjuangan yang mengiringinya. Dari keraguan awal hingga kini masyarakat turut andil secara sukarela, semua telah menjadi bagian dari cerita keberhasilan.

"Memang... akhir dari perjuangan tak pernah mengkhianati kesungguhan," gumam Andre, lirih namun penuh makna.

Arief menoleh ke Bayu, lalu menepuk pundaknya pelan. “Dan bukan hanya sawah yang kita ubah. Sekarang, mereka juga berhasil menjalankan bisnis barunya. Itu hasil dari lelahmu, Bayu.”

Bayu hanya tersenyum, matanya menghangat.

Tak lama kemudian, Rudi, Ical, Paul, dan Doni datang menyusul, membawa nampan berisi kopi dan kue. Paul berseru sambil menaruh gelas, “Kita nikmati dulu kue buatan ibu-ibu UKM, ya.”

Ical tak bisa menahan semangatnya. Ia sibuk merekam pemandangan dengan kameranya, sesekali mengabadikan percakapan mereka yang hangat. Tawa kecil pun terdengar, mengisi udara pagi yang segar.

“Tapi yang paling keren...” Andre menunjuk ke arah kecil di kejauhan. “Anak-anak tim bola sekarang memberi warna baru untuk desa ini.”

Rudi hanya tersenyum, menikmati pemandangan yang kini semakn indah, tanpa banyak kata.

“Ya... apa pun yang sudah tercipta, ini semua adalah hasil perjuangan kita bersama,” ucap Rudi, suaranya tenang namun penuh keyakinan.

Ical tiba-tiba menggoda Doni, “Eh Don, permainan sandiwaramu kemarin keren banget. Gue pikir beneran lo marah sama Bos Arief!”

Doni tertawa, lalu berkata dengan santai, “Sejak pertama kaki gue nginjak desa ini, gue langsung jatuh cinta. Jadi, apapun perintah Bos Arief, pasti gue laksanain.”

Arief menanggapi dengan senyum penuh makna. Tapi kemudian Paul bertanya, “Tapi kenapa harus Doni? Kenapa bukan kami yang lain?”

Arief menatap mereka dengan serius, lalu berkata sambil terkekeh, “Kalian sudah mempunyai peran semua, kadang, untuk masuk ke sarang penjahat, kita butuh seseorang yang bisa berperan sebagai penjahat juga.”

Tawa kembali pecah di antara mereka, namun suasana berubah hangat ketika Toni angkat bicara, wajahnya menunduk penuh rasa.

Toni tiba-tiba menghela napas panjang. "Tapi di balik semua ini, aku bersyukur. Selama ini, kita lupa akan cerita seseorang yang begitu berharga—Nabi Muhammad. Lewat cerita itu, aku ingin kembali mendekat pada Allah. Semoga kelak kita bisa mendapat syafaatnya, dan berkumpul kembali di surga. Tempat ini... pasti akan aku rindukan. Begitu juga, aku merindukan Nabi Muhammad, Rasul Allah.”

“Setelah mengurus semua dokumen pembebasan bersyarat kalian, semua ini selesai, kita bisa kembali lagi ke sini. Siapa tahu, jodoh kalian ternyata ada di tempat ini,” ujarnya dengan nada bercanda namun penuh harapan. Arief menatap wajah kawan-kawannya dengan senyum mengembang,

Rudi berjalan pelan ke arah mereka, menjulurkan tangannya dan berkata pelan, “Aku juga merindukan Nabi Muhammad.”

Arief menatap mereka semua, memberi isyarat dengan matanya. Serentak, mereka pun berkata dalam satu suara, “Kami rindu Muhammad.”

Mereka tersenyum, saling menatap, lalu menyeruput kopi hangat sambil menikmati kue buatan tangan-tangan ibu desa.

Beberapa saat kemudian, dari arah sawah, sekelompok anak-anak berkaus bola berlarian keluar dari setapak desa. Di depan mereka, sang pelatih, Iskandar, memberi semangat dari kejauhan. Anak-anak melambaikan tangan dengan penuh ceria.

Lihat selengkapnya