Jakarta, 1996
Seorang gadis asal desa, berkulit sawo matang, rambutnya dikuncir, kedua tangannya menjinjing tas besar dan dua kardus. Sinar matahari yang terik menyinari wajahnya yang pucat. Gadis 20 tahun yang bernama Winda terus-menerus menengok ke kanan dan kiri. Sepasang kaki yang mengenakan sendal jepit terus melangkah dengan pelan di keramain kota.
Perempuan itu seketika tersenyum saat melihat sebuah pagar besar yang bertuliskan ‘Dibutuhkan Office Boy/Girl Segera’. Dia berbicara dengan security dan diizinkan masuk. Gadis berwajah manis itu diantarkan ke ruang HRD, tetapi, HRD sudah menemukan dua OB, wajah kecewa dan sedih tidak bisa Winda sembunyikan, dia lalu duduk di teras gedung, orang-orang berpakain rapi yang melihat, hanya melewatinya.
Seorang saptam menghampirinya. “Maaf Bu, dilarang duduk di sini."
“Sebentar, Pak, tolong, saya capek, lemas,” ucap Winda dengan pelan, menunjukan wajah lesunya.
Dari kejauhan, ada seorang wanita mengenakan rok dan blazer sedang berjalan, seketika mendekati Winda dan saptam.
“Ada apa, Pak?” tanya seorang perempuan bernama Lidya.
“Ini, Bu, dia duduk di sini, kan enggak boleh, Bu,” kata seorang saptam sambil menunjuk barang-barang Winda yang tergeletak di lantai.
Wanita cantik berkarisma itu memerhatikan wajah Winda yang berkeringat. “Biarin, Pak, Bapak boleh tinggalin kami,” katanya kepada saptam.
“Baik, Bu."
“Ya ampun, Mbak kelihatan pucat sekali.” Lidya terus memerhatikan Winda, hatinya tidak tega melihat seorang gadis yang terlihat lugu duduk lemas lunglai tak berdaya.
“Ndak pa-pa, Bu.” Winda berdiri dengan pelan dan memberikan senyuman dengan bibir pucatnya.
“Mbak, habis melamar kerja?”
“Iya, Bu, tapi sayangnya, sudah terisi,” jawab Winda dengan raut wajah kecewa.
“Mbak sekarang mau ke mana? Nenteng tas gede begini, berat,” tanya Lidya sambil melihat barang-barang Winda.
“Keliling, Bu, cari pekerjaan.”
Lidya merasa prihatin. “Kita duduk, mengobrol, yuk.”
Lidya mengajak Winda ke kantin kantor, menawarkan untuk memesan apa saja yang dia mau. Setelah pesanan datang, suara tegukan demi tegukan yang melepaskan dahaga terdengar. Kemudian sendok demi sendok masuk ke dalam mulut dengan cepat. Lidya tersenyum melihatnya yang terlihat menikmati makan siang. Setelah Winda selesai makan, Lidya kembali mengajaknya untuk mengobrol.
“Jadi, bagaimana Mbak bisa sampai di sini?”
“Di desa, saya hanya nemiliki Bapak, dan Bapak meninggal. Setelah itu, saya berusaha mencari pekerjaan, ada seseorang yang nawarin saya pekerjaan, dan orang itu bilang saya bisa langsung kerja di Jakarta dengan gaji dua ratus ribu.
“Dengan syarat, saya harus membayar lima ratus ribu, saya jual barang yang saya punya untuk membayar dan untuk persiapan sebulan saya makan dan tempat tinggal sebelum saya mendapatkan gaji pertama saya.
“Tapi malah saat saya datang ke alamat itu, ndak ada yang membutuhkan karyawan, saya ditipu, dan saya lontang-lantung selama sudah enam hari ini. Saya terus mencari kerja di mana-mana tapi ndak ada, dan apesnya, saya dicopet, ndak ada uang sama sekali, sampai laper haus ndak bisa beli apa-apa,” jelas Winda dengan polos, kemudian menangis.
Lidya menarik napas panjang dan menggeleng dengan raut wajah sedih mendengar cerita Winda. “Ya ampun, kasihan sekali.” Lidya terdiam sejenak. “Saya sebenarnya tidak butuh pembantu, tapi kalau Mbak mau, Mbak bisa jadi pembantu di rumah saya,” lanjutnya.
Seketika winda tersenyum gembira. “Beneran, Bu?” tanyanya, antusias.
“Iya.” Lidya mengangguk dan tersenyum.
“Masyallah Ibu baik sekali,” kagum Winda kepada Lidya. Gadis itu berkaca-kaca bahagia. “Saya janji, Bu, saya akan bekerja dengan baik,” lanjutnya, semakin antusias.
Lidya mengajak Winda ke rumahnya, sesampai di rumah, Winda mengagumi kemegahan rumah majikan barunya. Lidya kemudian mengantarkan Winda ke tempat para pembantu dan mengenalkannya kepada mereka.
“Bi Rita, ini Winda, ajak-ajak ngobrol Winda dulu biar dia nyaman ya, Bi.”