Kami Yang Berdosa

Sadkitty
Chapter #2

2. Kelahiran Arsya dan Clara

Bi Rita dan Mbok Sari sedang menyiapkan makanan untuk makan malam.

“Sudah tiga hari Winda sakit, Bi, tolong telepon dokter saja, atau bawa ke dokter diantar sama Pak Tono.”

Bi Rita dan Mbok Sari saling menatap, terlihat bingung, mereka saling senggol sikut. Lidya terheran, dan mulai curiga. Setelah makan selesai, ibu muda cantik itu menemui Winda. Dia bersama Bi Rita dan Mbok Sari berkumpul. Winda pun akhirnya menceritakan semua, hingga selesai bercerita, Lidya masih terus menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan.

“Siapa yang melakukan itu, Winda?” Lidya memegang pundak Winda.

“Saya ndak tahu, Bu, waktu itu dua bulan lebih yang lalu, malam-malam saya keluar untuk pergi ke minimarket dan waktu pulang seseorang saya tidak kenal ....” Winda menekuk kedua lututnya, ketakutan, dan meringik.

Lidya prihatin dan memeluk Winda. “Kamu harus kuat, ya? Saya paham dengan apa yang kamu rasakan.”

“Saya ingin menggugurkan anak ini, Bu.”

“Astafirullah. Winda, istighfar,” kelakar Mbok Sari.

“Nyebut, Ndok,” ucap Bi Rita, mengelus-elus punggung Winda.

Lidya menggeleng-geleng. “Winda, setahu saya, kamu ini gadis lugu, dan baik, kamu tidak akan pernah melakukan hal semacam itu, bukan? Itu sama saja pembunuhan.”

Winda terdiam dan menunduk. “Tapi, Bu, bagaimana saya bisa, dan saya harus membesarkan anak ini sendiri, dan saya di sini bekerja dan saya ... bagaimana saya ....” Winda meringik dan menunduk.

Lidya kembali memeluknya. “Ust, ust, sudah, kamu jangan memikirkan itu, kami semua akan bantu kamu, kamu jangan khawatir, kamu tetap tinggal di sini. Saya juga akan bantu kamu.” Dia berusaha menenangkan perempuan yang sedang ketakutan itu.

Winda menangis kencang. “Ibu ini baik sekali sama saya, Ibu bagaikan malaikat untuk saya, terima kasih Bu Lidya, saya tidak tahu apa yang harus saya balas untuk kebaikan Bu Lidya.”

“Kamu jangan pernah memikirkan itu, ya? Ingat, anak itu titipan, kita harus selalu menjaganya. Anak ini tidak berdosa, dia tidak tahu apa-apa, dia tidak bersalah.” Lidya terus memeluk Winda.

Winda menyadari bahwa apa yang dikatakan Lidya itu benar, dia memiliki sedikit semangat dan harapan untuk terus membesarkan calon anaknya dengan dukungan orang-orang di sekitar yang selalu mendukungnya.

Bulan demi bulan perut Winda semakin besar, dia pun menyayangi bayi yang belum terlahir itu, sering mengajaknya bicara dan mengelus-elus perutnya. Dia juga rajin untuk memeriksakan kandungannya yang selalu ditemani Lidya. Eni yang melihat semua perlakuan Lidya padanya, membuat Eni semakin dengki.

“Heh! Dasar, lu itu perempuan murahan! Hamil nggak tahu bapaknya aja bangga!” ketus Eni

Lihat selengkapnya