Usia Arsya beranjak 11 tahun, ia sedang terus bersedih dan menangis menemani ibunda tercinta yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit, keaadannya lemah tak berdaya.
“Arsya mohon, Ibu, Ibu tetap bertahan untuk Arsya, Arsya tidak tahu bagaimana nanti kalau Arsya tanpa Ibu, Arsya takut, Bu,” tangis Arsya. Ia menyandarkan kepala di dada ibunya.
Winda juga menangis melihat anak semata wayangnya yang ketakutan dan terus bersedih. “Arsya sayang, kamu sangat berati untuk Ibu, maafin Ibu, Arsya, Ibu sempat tidak mengingankanmu. Ibu sangat beruntung memiliki kamu, Ibu sangat sayang sama kamu, kamu adalah anak yang baik, pintar, seperti namamu yang Bu Lidya berikan.” Winda mengelus-elus kepala anak kesayangannya. "Tolong selalu ingat perkataan Ibu jika sesuatu terjadi pada Ibu.”
“Ibu, tolong jangan nakutin Arsya, Bu ....”
Lidya memasuki ruangan.
“Bu Lidya,” panggil Winda.
“Winda, kamu pasti sembuh ya? Apa pun akan saya lakukan untuk kesembuhan kamu.” Lidya menyemangatinya dan memberikan senyuman.
Winda menangis terharu. “Ibu ini manusia atau malaikat? Kenapa Bu Lidya begitu baik. Dari dulu sampai sekarang, Bu Lidya sangat baik pada saya, padahal saya hanyalah seorang pembantu. Bu Lidya sudah menghabiskan begitu banyak uang untuk pengobatan dan terapi saya selama ini. Saya tidak pantas lagi untuk mendapatkan kebaikan ini, Bu –“
Lidya memotong pembicaraan Winda, “Hust hust, Winda, sudah, kita ini sesama manusia, jangan memandang tahta, kita sama. Karena saya lebih mampu, jadi saya berkewajiban untuk menolong sesama.”
“Yang saya takutkan kalau saya mati, Arsya, masih butuh saya.” Air mata Winda semakin mengalir.
Arsya menggeleng-geleng dan menangis. “Tidak, Bu.”
“Saya janji, saya akan selalu menjaga Arsya, dia akan tetap memiliki kasih sayang dan akan mendapatkan pendidikan yang sepantasnya,” kata Lidya, mengangguk meyakinkan Winda.
Winda terus menangis dan memeluk anak laki-lakinya.
Hari demi hari, keadaan Winda tidak membaik, Arsya selalu di sampinya dan selalu mencemaskan ibunya. Lidya selalu menjenguk Winda dan menghibur Arsya. Hingga suatu hari keadaan Winda begitu parah.
Arsya sedang terus menangis menunggu ibunya di ruang tunggu, Lidya memeluk Arsya dan prihatin.
“Tenang, ya?”