Kevin, Clara, dan Lidya sedang bermain di taman rumah, mereka bercanda dan tertawa. Arsya mengintip mereka di balik pilar, kedua matanya berkaca-kaca, bersedih, mengingat ibu tercintanya.
“Ibu,” lirih Arsya. Anak itu meringis dan menangis.
Arsya membayangkan saat ibunya masih hidup. Saat itu, ia menggambar dirinya dan Winda, kemudian memberikan gambar itu kepada sang ibu. Gambar sepasang ibu dan anak yang sedang bergandeng tangan di sebuah taman. Winda pun menerima dan memandangi gambar itu.
“Wah ini bagus, Sayang,” kagum Winda.
“Ini yang kurang apa, ya, Bu?”
Winda memandangi gambar lagi. “Ini sudah bagus, Sayang,” pujinya, bangga kepada putranya.
“Arsya mau, Ibu sama Arsya selalu bersama,” kata Arsya.
“Tentu toh, Ibu sayang banget sama Arsya. Ibu beruntung punya Arsya.” Ibu satu anak itu merangkul putranya.
“Arsya juga sayang banget sama Ibu.” Arsya memeluk ibunya.
Arysa tersadar dari bayangan saat ibunya masih hidup, ia mengelap kedua pipi dengan kedua telapak tangan. Lidya berbalik badan dan melihat Arysa, lalu berjalan menghampirinya.
“Arsya, ayuk main sama mereka,” ajak Lidya.
Arsya terdiam.
Lidya mengajaknya lagi dengan merangkulnya. “Ayuk.”
Arsya masih terdiam dan ragu. Lidya kemudian menuntunnya untuk bergabung dengan Kevin dan Clara, mereka pun bermain bersama. Arsya sedikit tersenyum dan terhibur. Ternyata, dari belakang, Eni terus memerhatikan Arsya dan tidak suka melihat perhatian yang diberikan oleh Lidya.
Dasar anak cengeng, manja, gerutu Eni dalam hati. Dia masih saja tidak suka dengan Arsya dan Winda. Dengkinya membuat Eni provokasi Kevin dan Clara untuk membenci Arsya. Saat Lidya pergi, Eni memanggil Kevin dan Clara.
“Kenapa Mbak?” tanya Kevin.
Eni menutup bibir dengan jari telunjuk, “Syut, kalian harus hati-hati sama Arsya,” bisiknya.
“Kenapa memangnya?” tanya Clara pelan.
“Arsya itu sama aja kayak ibunya, selalu cari perhatian sama mama kalian, nanti, Arsya bakal merebut mama kalian,” bisik Eni, memerhatikan sekitar, lalu melihat ke arah Arsya dengan dengki.
“Masa sih, Mbak?” tanya Clara.
“Kalian percaya sama Mbak,” kekeh Eni.
....
Kevin dan Clara duduk di sofa sedang bermain playstation. Arsya duduk di lantai dan melihat layar televisi. Lidya datang menghampiri Arsya dan memberikan nintendo untuknya. Arsya seketika membulatkan mata dan tersenyum, tetapi ragu-ragu untuk menerima hadiahnya. Kevin dan Clara berhenti bermain, kini pandangannya beralih fokus melihat mama mereka dan Arsya.
“Ini, biar kamu juga bisa main game. Kamu duduk di sofa, ya? Jangan di lantai seperti ini,” kata Lidya.
Arsya tersenyum memandang Lidya, ia lalu memandang nintendo dan memerhatikannya. “Ini bagus banget, Bu Lidya, wah.” Anak itu mengagumi nintendo dengan wajah gembira yang terpancar.
Arsya, semoga perlahan kamu tidak terlalu bersedih dan memikirkan Winda, kata Lidya dalam hati.
Kevin dan Clara saling menatap. Terlihat ada dengki mulai tampak di wajah mereka.
“Terima kasih banyak, Bu Lidya,” ucap Arsya.
Lidya berjongkok dan memeluk Arsya, Kevin dan Clara terus melihat mereka dengan mengerutkan dahi dan mata menciut. Kini, bibit-bibit kebencian mulai tumbuh di hati mereka, apa lagi provokasi dari Eni yang terus menyirami mereka setiap hari.