Bertahun-tahun Arsya berjuang untuk melawan kesedihan karena ditinggal orang yang paling ia sayangi. Telah melewati banyak hal, terutama menghadapi kakak dan adik yang tidak ada puasnya untuk membuatnya semakin terpuruk. Namun, perlahan Arsya terbiasa dengan perilaku tidak menyenangkan dari mereka.
Arsya kini telah tumbuh dewasa, semua kejadian yang ia alami dan perlakuan buruk dari Kevin dan Clara tidak membuatnya menjadi lemah, ia terus mengingat pesan ibunya bahwa ia terus berusaha untuk menjadi kuat.
Arsya sedang berjalan menuju ke dapur dengan memakai pakaian rapi. Eni menghadangnya. “Bener-bener, ya, kami di sini jadi pembantu bersih-bersih, lah kamu, pakaian rapi, gajinya lebih gede, disayang majikan.”
Arsya hanya menarik napas dalam dan menghempaskan pelan, lalu melangkah meninggalkan Eni.
Eni mengejar dan menghadangnya. “Emang ya, anak sama ibu, sama-sama caper terus. Apalagi Winda yang murahan itu yang sa—”
Arsya memotong pembicaraan Eni. “Cukup Mbak, selama ini saya tidak pernah memedulikan Mbak Eni menghina saya. Tapi saya tidak terima Mbak nyebut ibu saya!” Laki-laki 19 tahun itu tegas menegur Eni. “Dan saya tahu, selama ini Mbak selalu ngopor-ngoporin Clara dan Kak Kevin buat benci saya dan terus menghasut mereka."
Langkah kaki Lidya membuat Eni membulatkan mata dan menganga. Lidya menatap Eni dengan bibir merapat. “Jadi kamu itu racun buat anak-anak saya!” Bibir Lidya bergetar dan mata memerah. “Silahkan kamu pergi dari rumah saya, sekarang juga!”
....
Hari minggu, pagi hari, Arsya mengenakan celana santai panjang dan kaus hitam polos, ia sedang menyirami tanaman-tanaman di taman kebun sambil melihat bunga-bunga yang berwarna-warni yang selalu membuatnya nyaman dan memberikan senyuman. Dari belakang, Lidya tersenyum memerhatikan Arsya, Lidya bangga melihatnya yang telah tumbuh dewasa. Dia kemudian berjalan menghampirinya, mereka bersebelahan.
“Arsya, kamu tuh dari tadi sibuk terus, kapan istirahatnya? Ini kan hari minggu, waktunya kamu libur, saya memberi kamu kebebasan pada Hari Sabtu dan Minggu. Kamu tidak perlu kerja kerja terus seperti ini,” kata Lidya.
“Saya senang kok, Bu, melakukan ini semua, kan sudah terbiasa, Bu. Lagian, mau main apa, yang penting tugas kuliah dan belajar beres,” jawab Arsya sambil menyirami tanaman. Ia kemudian menoleh Lidya dan memberikan senyuman..
“Kamu ini, anak muda biasanyaa nongkrong gitu sama teman-temannya,” canda Lidya.
“Saya tidak punya banyak teman, Bu. Saya juga lebih suka di rumah." Arsya menggerak-gerakan selang.
“Kamu ini tumbuh persis seperti ibumu, baik, sopan, saya benar-benar salut sama kamu,” puji Lidya sambil melihat pancuran air dari selang yang menyirami tanaman.
Arsya tersenyum.
“Di jaman sekarang ini, jarang banget ada anak seperti kamu, kamu itu langka, saya selalu kagum sama kamu. Beda sama anak-anak saya, mereka selalu manja dan susah diatur. Saya selalu berdoa dan berharap, mereka bisa berubah menjadi pribadi lebih baik.” Lidya tersenyum dan memegang bunga yang mekar.
“Bu Lidya bisa saja. Mungkin mereka belum saja, Bu, kalau sudah saatnya, mereka juga akan berubah.”
“Aamiin, saya selalu berharap begitu.”
Arsya terus menyirami tanaman dan sesekali memberikan senyuman untuk Lidya.
“Kenapa kamu tidak bilang dari dulu, kalau Eni suka provokasi anak-anak saya dan selalu memusuhi kamu?”
Arsya hanya terdiam dan menunduk.
“Kalau saya tahu dari dulu, saya sudah pecat Eni dari dulu juga,” sesal Lidya.
Tiba-tiba Lidya melihat kodok loncat-loncat di antara kakinya. Dia teriak ketakutan, berlindung dan berpegangan ke badan Arsya. Ibu dua anak itu terus berteriak, kodok itu masih saja di antara mereka. Arsya hanya kebingungan melihatnya yang terus ketakutan. Lidya terus berpegangan kencang ke badan Arsya. Hingga tanpa sadar, Lidya terus mendorong Arsya ke kolam renang.
“Bu, Bu, Bu ....”
Arsya tercebur diikuti Lidya. Mereka masih berpelukan di dalam kolam renang. Kepala mereka muncul ke permukaan dan seketika mereka mengambil napas. Mereka berhadapan wajah begitu dekat.
Arsya mengelap wajah dengan telapak tangan kanan. “Bu, Lidya tidak apa-apa?” tanyanya.
Lidya tersenyum malu dan salah tingkah. “Aduh, maafin saya, ya? Gara-gara saya, kita jadi kecebur begini.”
“Bu Lidya tidak kenapa-kenapa?” tanya Arsya lagi.
“Tidak apa-apa.”
Lidya tertawa, Arsya pun ikut tertawa. Mereka kemudian terdiam, saling memandang, kedua mata mereka mengerjap, bibir mereka saling merapat. Arsya tersenyum tipis, dan Lidya menunduk. Mereka kemudian berenang ke tepi untuk naik.
“Sekali lagi, maaf, ya?” Lidya merasa malu dan bersalah.
“Tidak apa-apa, Bu.” Arsya tersenyum.