Kevin sedang berada di salon mobilnya, terdapat para karyawan yang sedang bekerja dan para pengunjung. Kevin terlihat murung, kedua temannya yang duduk di hadapannya terus terheran melihatnya.
“Kevin, lo kenapa, sih, dari kemarin-kemarin lo galau terus,” tanya temannya, Viko namanya.
“Iya, kenapa Bro? Cerita sama kita,” sahut Nando.
“Nyokap gue nikah lagi,” jawab Kevin.
Kedua teman Kevin terkejut dan juga senang.
“Kok lo nggak kabar-kabar sama kita sih?” Viko antusias dan penasaran dengan suami baru dari ibunya Kevin.
“Iya, lo nggak anggap kita temen,” sahut Nando dengan nada kecewa.
“Kalian pikir gue seneng gitu? Hah!” kesal Kevin, melototi Viko dan Nando bergantian.
“Lah nyokap nikah bukannya seneng, punya bokap baru,” canda Viko.
Kevin mengendus. “Yang ada berharap mereka segera bercerai, karena yang nikahin nyokap gue itu Arsya. Anak pembantu nggak tahu diri itu, lebih muda dari gue.”
Nando dan Viko tergelak, menganga dan matanya membulat. “Arsya nikahin nyokap lo!”
“Gila nggak, sih! Nyokap gue berapa tahun, cowok nggak tahu diri itu berapa tahun! Beda jauh!” Kevin mendengus.
Viko memiringkan kepala. “Bro, nyokap lo itu kelihatan masih muda lagi, jangan pandang umur, nyokap lo itu cantik, seksi, pengusaha lagi. Coba siapa yang nggak mau? Gue aja mau sama nyokap lo, kalau nyokap lo mau,” canda Viko lagi.
Nando menyetuji Viko. “Bener tuh, gue juga mau,” sahutnya, mengangguk-angguk.
“Heh! Heh! Kalian, tuh! Kurang ajar ya!” kelakar Kevin.
“Sorry, Bro, bercanda juga.”
“Iya, nih, serius amat hidup lo.”
....
Arsya berjalan hendak menyirami tanaman, Clara yang sedang berdiri di ruang depan, memanggilnya.
“Heh cowok sialan!”
Arsya tetap berjalan dan tidak peduli dengan Clara.
“Heh!” teriak Clara lagi.
Arsya tetap berjalan.
“Heh gue panggil lo!” teriak Clara semakin kencang.
Arsya tetap berjalan dan semakin menjauh. Clara kesal, dia berlari mengejar dan berdiri di depannya.
“Oh, panggil saya? Saya punya nama, panggil nama saya, nama saya Arsya Mahardika, biasa dipanggil Arsya, kalau tidak bisa memanggil saya dengan nama saya, panggil saya Kak, atau Pak,” ucap Arsya.
“Heh! Sok banget, lo. Makin ngelunjak aja ya!”
“Sudah?” Arsya berjalan.
Clara mengerutkan dahi dan memajukkan bibir. “Arggh! Makin hari makin ngeselin banget sih tuh orang!”
Sore hari berikutnya, Arsya sedang menaiki motor dan hendak pergi, Clara berlari menghampiri.
“Heh, Pak! Gue mau lo ngerjain tugas kuliah gue!” bentak Clara.
“Itu tugas kuliah kamu, kenapa saya yang ngerjain? Kamu punya otak, tangan, dan dua mata, semua masih berfungsi dengan normal, dan kamu bisa menggunakannya untuk berpikir dan mengerjakan,” tutur Arsya.
Clara seketika syok dan marah. “Lo, sekarang bener-bener keterlaluan! Lo makin hari makin ngelunjak!”
"’Arsya, jangan dengarkan apa kata Clara.’" Arsya memasang helem.
Clara semakin marah dan membentak. “Heh! Dasar lo anak pembantu kurang ajar! Lo tuh anak hasil hubungan gelap, karena nyokap lo itu perempuan kampung murahan!”
Seketika Arsya terdiam, kedua matanya memerah. Ia melepaskan helem, menatap Clara dengan amarah yang terpendam. Arsya turun dari motor dan tepat berdiri di hadapan Clara. “Kalau kamu laki-laki, saya sudah pukul kamu, kamu boleh hina saya, tetapi jangan berani-berani hina ibu saya.”