1985
Apa yang beterbangan dalam dirinya adalah rasa yang tidak pernah sempat dia nyana. Mengalun seperti elegi merdu, mengayun-ayun seperti buaian ibu. Mirna akan menyimpannya dalam sanubari. Terpatri lama, lama sekali.
Masih terekam jelas di benak Mirna suatu Kamis sore yang dipenuhi alunan gambang dan merdu suara pesinden. Menurut cerita tetua, hari Kamis sore hingga masuk malam Jumat adalah waktu yang paling tepat untuk mengadakan pagelaran ebeg.[1] Lebih sakral, kata mereka.
“Kamu jadi ikut, Mir?” tanya Pardi, temannya, sesaat sebelum mereka bertolak ke lokasi.
“Iya, aku mau ikut.”
“Wadon dewekan ora papa?”[2] Kali ini Marsum yang bertanya, sekadar menegaskan. Mirna sadar dia hanya perempuan sendiri di antara lima teman laki-lakinya. Dia sebenarnya sudah mencoba mengajak beberapa teman perempuannya, tetapi semua menolak. Ningsih, Siti, Ibad; semuanya beralasan sama, tidak mau pulang melalui alas Miramba apalagi kalau hari sudah melewati sande kala.[3] Mereka jelas tahu kalau gelaran ebeg tak akan sampai pada klimaksnya kecuali sampai waktu malam. Malam Jumat. Walaupun ada bapak-bapak maupun remaja laki-laki yang nantinya akan menemani pulang, tetap saja malam Jumat dan alas Miramba adalah kombinasi yang terlalu menakutkan bagi anak perempuan kelas lima SD seperti mereka.
Namun berbeda bagi Mirna. Alasan utamanya untuk ikut ke lapangan desa seberang, lokasi pagelaran ebeg, tak peduli harus melewati alas Miramba, bukan karena keseruan dan keramaian acara kesenian itu. Mirna kemudian melirikkan matanya kepada salah satu dari mereka, anak laki-laki beranjak remaja yang membuatnya memaksakan diri untuk ikut menonton ebeg. Si remaja tanggung tidak menggubris, mungkin tidak merasa dia dilirik.
Apa dia tidak mau bilang apa-apa kepadaku? bisik hati Mirna.
“Ya, sudah. Ayo, berangkat!” seru Pardi.
Sepanjang jalan, mereka riang menyanyikan lagu-lagu yang biasa disenandungkan saat pagelaran ebeg diadakan. Sambil berlenggak-lenggok menirukan gerakan penari di atas pelepah pisang yang mereka simulasikan sebagai kuda kepang, gerakan mereka diiringi irama musik yang juga berasal dari mulut-mulut mereka sendiri. Wajar, Mirna paham, anak-anak di desanya sudah sangat akrab dengan kesenian itu, seolah mereka dibesarkan dengan langgam dan tarian khas kesenian ebeg. Kehidupan desa yang jauh dari pikuk dan keramaian, hanya berkutat dengan sawah, kebun dan hewan ternak, atau sekolah (sedikit dari mereka) dan bermain bagi anak-anak; tidak ada hal lain yang bisa menjadi hiburan bagi warga. Televisi hanya dimiliki orang-orang berada, radio saja sudah mewah rasanya, pun sambungan listrik belum tentu dimiliki semua. Maka kehadiran pagelaran macam ebeg, pasar malam, atau layar tancap yang tak mesti sebulan sekali akan selalu disambut dengan euforia yang gempita.
Namun bagi Mirna, sekali lagi, bukan ebeg alasan utamanya.
Riyadi, dua tahun lebih tua dari Mirna, sudah beberapa waktu terakhir membuat anak perempuan itu penasaran. Keduanya adalah teman sepermainan, tumbuh bersama sejawat seusia, menikmati lapangan, pematang hingga sendang pun bersama. Tidak ada yang istimewa dalam masa kecil mereka, sebelum akhirnya hormon-hormon yang dibawa usia mulai memengaruhi pandangan Mirna terhadap laki-laki. Pendorong terbesar tentu saja fakta bahwa perempuan di desanya sudah harus mulai memikirkan masa depan sebagai istri seorang lelaki, bahkan sejak tamat (atau tidak tamat) sekolah dasar.
Pendidikan hanyalah formalitas, bahkan cenderung tidak perlu bagi anak perempuan. Perempuan dan sekolah seperti dua sisi kutub yang enggan bersatu. Begitu masa akil balig datang, maka prioritas mereka adalah bersiap dipinang menjadi istri seseorang. Entah lelaki itu siapa dan dari mana, begitu orang tua menerima pinangannya maka masa muda mereka telah selesai bahkan sebelum dimulai.
Anak laki-laki sebenarnya tak jauh berbeda. Sebagian besar warga desa sudah memiliki tanah garapan seperti sawah, kebun atau ternak yang siap diwariskan kepada anak-anak mereka. Anak laki-laki lah yang kemudian akan melanjutkan pelestarian hasil alam itu. Selain kemampuan membaca dan sedikit berhitung, maka tidak ada lagi yang diperlukan dari sekolah untuk mata pencaharian itu. Tamat SMP saja sudah mewah bagi remaja laki-laki di desa itu.
Di desa Mirna, hanya ada dua alasan bagi anak-anak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Pertama, anak orang berada yang cukup berani memiliki cita-cita tinggi dengan sokongan dana orang tuanya, dan kedua, orang tua kaya yang menginginkan anaknya punya masa depan terpandang: jadi pegawai negeri, polisi atau tentara yang mereka yakini akan semakin meningkatkan derajat dan nama baik keluarga. Sebagai penegas, kedua alasan di atas hanya berlaku untuk anak laki-laki.
Tapi Riyadi di mata Mirna sungguh berbeda. Anak biasa dari keluarga biasa, tanpa sokongan dana melimpah, Riyadi tumbuh dengan optimisme yang unik. Ketika anak-anak lain hanya peduli bermain, Riyadi sangat fokus pada sekolahnya. Ketika remaja laki-laki lain memilih berhenti sekolah setelah lulus SMP, beberapa malah lebih dini, Riyadi sudah meneguhkan tekad untuk belajar lebih tinggi. Mirna sungguh ingin tahu, apa yang melatarbelakangi semangat itu.
Dan perlahan, rasa penasaran itu tumbuh menjadi rasa suka.
Keenam bocah telah sampai tepi alas Miramba, nyanyian sejenak dihentikan. Keenam mereka pun berbaris untuk melewati jalan setapak yang membelah hutan itu. Jalan pintas. Sejatinya desa seberang dapat dicapai melalui jalan penghubung antar desa, tetapi jalur itu memiliki rute memutar yang cukup jauh, dan jika ada pilihan yang lebih cepat, kenapa tidak? Takut terlambat juga jadi salah satu alasan.
Alas Miramba sebenarnya adalah kebun milik salah seorang warga desa. Sebagian besar lahan luas itu ditumbuhi pohon-pohon besar seperti durian, melinjo, hingga kalba. Begitupun, alas Miramba masih cukup luas untuk ditumbuhi ilalang dan tanaman-tanaman rambat liar di beberapa titiknya. Luas tanah dan rimbun pepohonan inilah yang membuat semua orang menyebutnya alas, alih-alih hanya sekadar kebun.
Struktur tanahnya membentuk landaian yang cukup curam. Di dasar landaian terdapat aliran sungai kecil berhias batu-batu. Kecil dan besar. Keenam bocah yang sudah meniti jalan hingga sampai ke sungai itu, kini harus melompat dari batu ke batu untuk mencapai tepi seberang. Enggan mereka menapak di air, karena kali di tengah kebun cenderung kotor dan menyebabkan gatal. Mengingat mereka bakal berlama menyaksikan ebeg, menggaruk-garuk kaki akan sangat mengganggu syahdu nyanyian dan tarian.