Kamis Hitam

Angga Wiwaha
Chapter #3

Mbok Sum Mewariskan Masa Lalu


1988

Nyong arep lanjut nganti kuliah, Mbok.”[1]

Mbok Sum sejenak hilang kata. Dia masih perlu mencerna, apakah pernyataan itu benar-benar keluar dari mulut anaknya. Setelah dipikir-pikir lagi, dia tidak merasa pernah menceritakan soal masa lalunya ke putra pertamanya itu. Mbok Sum sudah lama berdamai dengan keadaan dan menganggap masa itu adalah titik kenaifan dirinya.

Bahkan, dia sudah berdamai dengan panggilan “Mbok” untuk dirinya.

“Kamu sudah pikirkan dengan matang?”

“Sudah, Mbok.”

“Memang kamu yakin bakal dibolehkan Bapak?” cecar Mbok Sum.

“Kalau Mboke rida, pasti Bapak juga gak bakal melarang.” Putranya yakin. Entah kapan dan bagaimana dia mewarisi optimisme itu.

“Kebun Bapak siapa yang mau ngerumati? Kamu gak mau seperti teman-temanmu, sudah bisa menghasilkan uang, bantu bapak-ibunya sejak masih muda?”

“Justru karena Yadi mau bantu Bapake lan Mboke, makanya Yadi mau sekolah tinggi. Mau angkat derajat keluarga kita.”

Manusia dibentuk oleh lingkungannya. Itu yang Mbok Sum pahami. Namun, dalam kasus ini dia tidak menemukan satu pun alasan di mana kondisi hidup dan lingkungan mereka bisa membawa putranya itu punya alasan untuk sekolah tinggi. Tidak ada satu pun dari teman sepermainannya yang punya cita-cita semuluk itu. Pekerjaan sudah mereka dapatkan dengan cuma-cuma dari warisan kebun dan sawah orang tua. Jika ingin berkeluarga, mereka bisa memlih anak perempuan mana saja untuk mereka pinang, asal sudah cukup mapan dari pekerjaan agrarianya. Kuliah? Tahu artinya saja mereka belum tentu.

Tidak mungkin karena aku, kan?

Di kepalanya, Mbok Sum masih mencoba memutar memori. Belasan tahun mengasuh Riyadi, anak pertamanya, seingatnya tidak pernah sekali pun dia menceritakan mimpi masa remajanya. Mimpi itu sudah dia kubur dalam-dalam, walaupun dengan urukan sesal.

 

Sepuluh tahun usia Sumini, nama lengkap Mbok Sum, kala itu ketika penyakit mata mewabah di desanya. Entah siapa yang pertama kali membawa, tapi kehidupan warga desa yang jauh dari kata bersih dan higienis telah membuat penyakit itu menyebar dengan cepat. Pak Manto katarak, Bu Wirem tidak bisa membuka sebelah matanya, bahkan Mbah Kusman sampai buta kedua matanya. Mereka dan banyak tetangga Sumini lainnya ikut terjangkiti dengan cepat. Beruntung dia dan keluarganya aman.

Beberapa tenaga kesehatan dikirim ke desa itu. Sumini mendengar asal mereka dari Jogja. Mereka dikirim untuk mengobati warga yang terdampak wabah, sekaligus mencegahnya agar tak semakin menyebar.

Lihat selengkapnya