Kamis Hitam

Angga Wiwaha
Chapter #4

Menitipkan Chairil Anwar

1997

Suasana tempat itu ramai, seperti biasanya, tetapi Mirna memilih bersepi diri menatap buku di tangannya. Menimbang kemungkinan-kemungkinan yang sejatinya sudah semakin usang untuk dia impikan. Sampul buku itu sudah kusam seumpama harapannya, berhias judul yang ditulis besar-besar dengan tinta merah atau jingga, Mirna pun tidak tahu pasti, karena warnanya sudah agak luntur bahkan sejak pertama kali dia menerimanya.

Mirna membuka dan membaca kembali bait-bait itu:

...

aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

 

hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah [1]

 

Mirna tak terlalu suka puisi. Tidak banyak mengerti. Namun, mungkin karena sang pemberi buku itu adalah seseorang yang mengisi bait-bait dalam hatinya, Mirna jadi gemar mencocok-cocokkan puisi di dalam buku itu dengan suasana hatinya yang penuh gulana, tidak lain akibat perbuatan laki-laki itu juga. Mirna bingung, mengapa kini dia yang merasa terpenjara. Bukankah laki-laki itu yang bersalah karena menitipkan harap?

Atau salahku karena terlalu gebu merindunya?

Mirna membela diri, bahwa semua tidak akan sejauh ini jika pertemuan itu tidak pernah terjadi. Masih terekam jelas ingatan malam itu, Riyadi tidak hanya menitipkan puisi, tapi juga rasa yang akan selalu Mirna bawa sepanjang hidupnya.

 

1991

Selepas sore di alas Miramba, kedua anak yang beranjak besar itu pun menjadi semakin dekat. Riyadi tak lagi segan untuk menyapa, bertanya, bahkan bercengkerama berdua bersama Mirna. Anak perempuan itu sempat bertanya-tanya, apa yang jadi sebab perubahan drastis sikap Riyadi kepadanya sejak sore itu.

Tadinya Mirna pikir tindakan Riyadi menyusulnya lalu mengantarnya pulang hanya bentuk rasa kasihan terhadap bocah perempuan yang harus pulang sendirian. Lagi pula, seperti alasannya kala itu, Riyadi mengaku juga harus pulang karena ada sesuatu yang perlu dia kerjakan di rumah. Namun, Mirna belakangan menemukan fakta yang membuncahkan hatinya. Riyadi Berbohong. Dia tidak kembali ke rumah. Alih-alih, setelah mengantarkannya Riyadi malah kembali ke desa seberang tempat pentas kesenian ebeg digelar. Itu yang dia dengar dari teman-teman serombongannya kala itu.

Dia kembali hanya demi aku.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, kupu-kupu yang beterbangan dalam diri Mirna terus terpelihara, bahkan lebih berwarna-warni. Riyadi pun seolah ikut menjaganya. Mereka tumbuh bersama dalam kedekatan yang berbatas wajar. Dalam kurun yang tak sejenak itu, tidak pernah sekali pun Mirna mendengar Riyadi dekat dengan perempuan, apalagi punya kekasih. Sebagaimana yang juga dia tahu, Riyadi sangat serius dengan sekolahnya. Tidak ada waktu untuk cinta-cintaan seperti kebanyakan remaja lainnya yang sudah lirik sana-sini, tebar pesona, sampai berani mengirim surat cinta.

Riyadi menjauhi itu semua. Lucunya, itu termasuk kepada dirinya. Awalnya Mirna menyangka bahwa Riyadi hanya menunda, karena melihat dirinya yang masih terlalu kecil untuk urusan cinta. Tapi bukankah semua gadis di sini juga sudah memikirkan urusan cinta, bahkan hidup berkeluarga sejak masih belia? Makin mengherankan, ketika keduanya bertambah dewasa, sikap Riyadi pun tidak berubah. Dia hanya banyak memberi perhatian, tetapi tidak ada kata-kata apapun yang mengarah kepada permintaan untuk menjadi kekasihnya. Mirna sempat bingung dibuatnya.

Namun belakangan Mirna tahu alasannya. Semua sikapnya itu karena Riyadi punya cita-cita yang jauh lebih hebat: dia ingin sekolah yang tinggi. Ketika sebagian besar teman-teman mereka memutuskan berhenti melanjutkan sekolah, membantu kerja orang tua di kebun bagi para laki-laki, atau segera menikah bagi yang perempuan, Riyadi memilih untuk melanjutkan pendidikan. Riyadi memberi kabar bahwa dia sudah meminta izin orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Begitu kerasnya dia belajar, tak lain adalah untuk membuktikan pada orang tuanya bahwa dia serius ingin melanjutkan ke jenjang kuliah.

Aku saja tidak tahu apa artinya “Kuliah” itu.

Mirna baru mengetahuinya setelah Riyadi menjelaskan bahwa kuliah adalah jenjang sekolah tinggi setelah SMA. Mirna sempat takjub, memikirkan apa yang bisa digapai oleh Riyadi dengan kuliah itu nantinya. Apakah dia tidak akan pernah menjadi petani? Apakah dia akan menjadi aparat negara seperti yang dibanggakan beberapa tetangga, yang menjual tanah-tanah mereka demi anaknya bisa memakai seragam dengan label-label tempelan macam-macam di bahunya? Apakah Riyadi akan datang menjemput dirinya saat sudah sukses nanti? Atau, yang lebih Mirna takutkan:

Apakah dia tidak akan pernah sempat meminangku?

Lihat selengkapnya