Kamis Hitam

Angga Wiwaha
Chapter #5

Tujuan yang Perlu Dikampanyekan


1991

Mirna arep lanjut nganti kuliah, Bu.”[1]

Ibunya terperanjat, kemudian sejenak menghentikan kegiatannya mencuci kentang. Mirna tahu, bukan hanya ibunya, tetapi siapa pun akan terkejut mendengar ucapan itu muncul dari bibirnya. Sungguh kalimat yang terdengar asing sehingga ibunya butuh waktu untuk mencerna kata-kata itu, sebelum kemudian menyadari konsekuensi dari niat putri tunggalnya itu. Tabu, tidak sesuai kodrat, sampai hanya menjadi beban adalah stempel yang akan lekat padanya jika sampai keinginan itu terjadi.

“Kamu itu kalau ngomong mbok dipikir dulu,” protes ibunya sambil lanjut menggosok-gosok kentang di dalam gayung berisi air. Umbi-umbian itu adalah hasil kebun bapak Mirna dan beberapa petani lainnya yang akan disetorkan ke pedagang pasar nantinya.

“Sudah, Bu. Mirna sudah pikirkan masak-masak. Mirna mau kuliah.”

“Tidak. Itu tidak mungkin. Kuliah?” Ibunya menggelengkan kepala.

Melihat kata-katanya tak diacuhkan seolah angin lalu, Mirna yang duduk membantu di samping ibunya pun menghentikan pekerjaannya. Dia mengumpulkan semua tekad untuk melobi ibunya agar memberi izin.

“Memang kenapa dengan kuliah, Bu?” tanya Mirna.

“Mahal. Kamu cuma bakal menghabiskan waktu dan uang,” tegas ibunya. “Kamu itu harusnya segera kerja, cari uang, bantu Bapak sama Ibu,” lanjutnya sambil meniriskan kentang yang sudah bersih ke wadah berbeda.

“Tapi, Bu, Mirna kan juga punya cita-cita.”

“Silakan kalau kamu punya cita-cita. Tapi tidak perlu kuliah. SMA sudah cukup tinggi untuk perempuan. Kamu bisa langsung cari pekerjaan yang kamu cita-citakan itu.”

“Tapi, Bu, kuliah lebih dari sekadar kerja. Pergaulan Mirna akan lebih luas, pengetahuan bertambah, kemampuan Mirna juga akan meningkat di banyak bidang. Kalau bisa mendalami apa yang Mirna sukai, Mirna yakin nantinya bisa dapat pekerjaan yang lebih baik untuk bantu Bapak-Ibu.” Mirna berkeras.

“Kita sudah hidup dengan baik, Nak. Itu saja kamu sudah harus bersyukur.” Ibunya kini beralih menatapnya, sepenuhnya melepas aktivitasnya. Kentang dan gayung digeletakkan begitu saja.

“Memang kuliah menjamin semua yang kamus bilang tadi itu?” lanjut ibunya, “Enggak, ‘kan? Yang ada malah kamu berjudi sama nasibmu sendiri dan uang bapakmu.”

Mirna menghela napas. Dia harus tetap tenang. “Mirna paham, Bu. Tapi Mirna yakin betul, namanya pendidikan itu semakin tinggi maka semakin meningkatkan peluang untuk hidup lebih baik. Mirna akan mandiri untuk diri Mirna sendiri, sekaligus bisa bantu Bapak sama Ibu juga.”

“Yang kamu bilang itu, kalau kamu lanjut pendidikan jadi angkatan. Ke SPN di Purwokerto, atau ke Magelang daftar AKMIL,” sebut ibunya dengan suara yang mulai meninggi.

“Kuliah juga sama, Bu.”

“Beda!”

“Apa bedanya?”

“Bedanya, kamu itu perempuan!”

Bentakkan keras itu membuat Mirna terdiam sejenak. Ini yang sesungguhnya paling dia khawatirkan. Ada tembok yang sulit dia robohkan bernama “pandangan orang”. Tidak seperti Riyadi yang bisa meyakinkan orang tuanya cukup dengan rencana dan mimpinya, Mirna harus menghadapi dirinya sendiri, gendernya sendiri, yang seolah sudah dibuatkan garis takdir yang jelas sejak zaman dahulu.

“Kalau kuliah memang kamu mau ke mana?” tanya ibunya. Dengan semua emosi itu, Mirna ragu-ragu untuk menjawab.

“Jakarta, Bu.”

“Jakarta?!” seru ibunya lagi, “Makin ngawur kemauanmu.”

“Kuliah di sana bagus, Bu. Kalau lulus, bisa dapat kerjaan yang bagus juga.”

“Tapi hidup di sana yang gak bagus. Kamu itu perempuan, dari desa pula. Jakarta itu sangat jauh dari bayanganmu.” Nada ibunya kini menyuarakan kekhawatiran.

Mas Riyadi akan menjagaku. Mirna tidak terlampau ceroboh untuk mengatakan itu.

“Anaknya Mbok Sum, ‘kan?” Pertanyaan melenceng seratus delapan puluh derajat itu membuat Mirna terenyak. Ibunya seperti berhasil membaca pikirannya.

“Maksud Ibu apa, ya?” Mirna berlagak lugu.

“Kamu ngotot mau kuliah ke Jakarta karena mau nyusul anaknya Mbok Sum itu, ‘kan?”

Aduh! Ternyata Ibu tahu.

“Dia hanya memotivasi Mirna, Bu.” Mirna coba berdalih, “Tapi bukan itu tujuan Mirna minta izin dan restu Ibu untuk kuliah.”

“Jangan bandingkan dirimu sama dia,” sebut ibunya, “Coba kamu bayangkan, kalau dia sekolah tinggi itu supaya dia bisa dapat pekerjaan yang bagus. Dia nantinya akan jadi suami, bapak, pemimpin keluarga yang mencari nafkah. Itu semua karena dia laki-laki.”

Mirna masih menyimak.

“Sedangkan kamu,” lanjut ibunya, “Mau sekolah setinggi apa pun, dapat pekerjaan sebagus apa pun, ujung-ujungnya kamu akan menikah. Setelah menikah, tugas utamamu itu jadi istri dan ibu, yang semuanya itu dikerjakan di rumah.”

Mirna seperti hilang kata-kata.

“Intinya, kodrat laki-laki dan perempuan itu berbeda. Sekolah tinggi tidak akan mengubah itu,” tandas ibunya.

“Apa lulusan kuliah tidak bisa menjadi istri dan ibu yang baik?”

Lihat selengkapnya