Kamis Hitam

Angga Wiwaha
Chapter #6

Ling We Tobacco House

 

1994

“Prospeknya bagus, Pak. Coba saja.” Gunawan masih mengingat binar mata Riyadi saat mendengar tawaran itu. Tawaran menjanjikan buat bisnisnya itu berasal dari kenalan dekatnya yang bernama Duloh.

Sebelum menuju bagaimana Gunawan bisa bertemu Riyadi, yang nantinya dia anggap seperti anak sendiri itu, mari berkisah soal Gunawan dan Duloh terlebih dahulu.

Gunawan dan Duloh sejatinya sudah sangat akrab sejak lama, bahkan sejak pertama kali dia memulai hidup di ibu kota ini. Kala itu masih di awal tahun 1990, dengan bermodal sedikit uang, beberapa jaringan rekan, dan lebih banyak kenekatan Gunawan berangkat ke Jakarta, mempertaruhkan hidup keluarganya dari lintingan-lintingan kretek yang dia anggap sangat istimewa itu.

“Saya punya teman banyak yang bisa bantu usaha, ya, karena ini,” sebut Gunawan waktu itu kepada Duloh.

“Bukan sekadar dagangan, setiap lintingan yang menghidupi keluarga saya ini adalah sebuah keberkahan,” tambahnya di lain waktu.

Adapun Duloh adalah kompatriotnya menuju kecemerlangan bisnis tembakau ritelnya itu. Mata jeli Duloh menemukan Gunawan tengah berdagang di emperan pasar, menggelar lapak di antara kios-kios pakaian dan bahan makanan. Walau bermandi peluh, Gunawan  tetap menawarkan dagangannya itu dengan senyum penuh semangat. Duloh pun tak segan mampir. Setelah melihat lihai jemari Gunawan mengolah tembakau pilihan, mencampurnya dengan bubuk cengkih dan uwur[1] dalam satu lintingan papir[2], lalu mencobanya dalam isapan yang begitu nikmat, Duloh pun tersenyum seakan menjumpai permata di tengah pikuk tawaran sayur, daging ayam, dan daster murahan yang bersautan di sekitar.

Itu adalah awal hubungan (yang sejatinya materialistis) antara keduanya. Melalui Duloh, Gunawan kemudian mendapat pinjaman untuk menyewa kios permanen di dalam pasar, serta tambahan modal untuk membeli perkakas pelengkap untuk menjalankan bisnisnya. Gunawan tidak memiliki apa-apa selain (lagi-lagi) sebuah kenekatan. Dia percaya betul kemampuannya adalah aset terbesar yang dapat menjamin utang pinjaman itu. Dan Duloh percaya.

Sebenarnya Gunawan bukan yang pertama, pamor Duloh sebagai marketing[3] sebuah koperasi simpan pinjam sudah meluas di antero pasar, dan sudah banyak juga yang menerima jasa pinjaman kreditnya. Bedanya, Duloh menganggap Gunawan sebagai nasabah prioritas, nasabah istimewa, setidaknya begitu yang dirasakan Gunawan. Tak bisa dinafikan, mungkin hal itu tersebab Gunawan adalah nasabah yang selalu lancar membayar cicilan kreditnya. Itu pun wajar, karena sejak memiliki kios sendiri usahanya meningkat signifikan.

Waktu-waktu Gunawan diliputi bahagia di masa itu. Memiliki kios sendiri, dia bisa menyediakan tempat duduk dan ruang bercakap untuk pelanggan-pelanggannya. Dia mengundang mereka untuk ngopi dan berbincang. Konsumen dia anggap teman, bukan sekadar orang-orang yang membeli kebutuhannya lalu pergi. Dalam tehnik berdagang yang bersahabat itu, kelihaian Gunawan mengolah kretek memuaskan mata pelanggan, gaya tuturnya menceritakan resep demi resep sungguh asyik diikuti, dan lugas caranya berbagi rahasia campuran dan takaran yang pas demi mendapat kecapan sempurna dalam setiap lintingan membuat para pelanggannya betah berlama di sana. Dan dia memberikan itu semua secara cuma-cuma, seperti antar sahabat saja.

“Bukannya resep-resep rahasia itu mahal, Pak?” tanya Duloh suatu waktu.

“Memang. Itu yang paling mahal.”

“Lalu kenapa dikasih tahu ke semua orang?”

“Karena itu akan bikin mereka selalu penasaran, lalu datang lagi membawa satu-dua teman, temannya itu besok akan bawa teman lainnya. Resep itu tidak akan ke mana-mana, Loh, dia tetap ada di toko ini.” Gunawan menyebutnya sebagai “modal sosial”. Ternyata itu resep terpenting bisnisnya.

Di masa inilah, medio 1993, di kios sewaannya itu Gunawan bertemu dengan Riyadi, seorang mahasiswa rantau dari tanah Jawa dengan logat ngapak yang begitu kental. Pada suatu sore di akhir pekan yang ramai, Gunawan seperti biasa tengah berbincang dengan pelanggannya sambil asyik mempertunjukkan keahliannya mengolah selinting kretek. Dari luar kios, pemuda kurus itu memperhatikan setiap tindak-tanduk Gunawan dengan saksama. Seolah memiliki pengalaman yang selaras, dari ujung matanya Gunawan dapat memperhatikan jemari pemuda itu bergerak-gerak menirukan cara menabur cengkih di tengah papir lalu dilanjutkan racikan uwur sisi ujungnya. Melihat itu, Gunawan merasa seperti bercermin pada dirinya di masa muda.

“Masuk sini, Mas,” ajak Gunawan.

“Di sini saja, Pak. Cuma mau lihat. Kebetulan lewat,” ucap si pemuda masih bergeming.

Gunawan lalu berdiri dan menyambanginya. Dia tahu, satu-satunya alasan anak muda segan masuk ke dalam kiosnya adalah karena tidak punya uang. Dilihat dari penampilannya, kaus oblong dan celana belel, alasan pemuda yang satu ini pasti tidak akan berbeda. Biasanya Gunawan akan membiarkan mereka. Namun, seperti yang sudah Gunawan lihat tadi, pemuda ini punya sesuatu yang berbeda.

“Namanya siapa?” tanya Gunawan.

“Riyadi, Pak. Panggil Yadi saja,” jawabnya dengan logat khas.

“Suka ngelinting juga?” tanya Gunawan setelah mempersilakannya duduk.

Enggak juga, Pak, Cuma pernah coba-coba dulu waktu di kampung, diajarin bapak saya. Kebetulan pernah punya kebun cengkih,” ungkap Riyadi yang membuat Gunawan merasa instingnya sangat tepat.

Sore itu Gunawan mempersilakan Riyadi meracik lintingan kreteknya sendiri. Selain cengkih yang dihaluskan, pemuda itu menambahkan adas dan kelembak menjadi satu uwuran. Walaupun takarannya tidak sepresisi ukurannya, tetapi Gunawan dapat melihat Riyadi memiliki bakat yang cukup baik. Caranya mengoperasikan alat linting juga tidak canggung seperti pemula. Gunawan pun mencoba menyulut hasil racikan Riyadi lalu mengisapnya dalam-dalam. Tidak sempurna, tetapi bisa diandalkan.

“Besok, atau kapan pun, kamu main ke sini lagi, ya,” ajak Gunawan sebelum Riyadi beranjak.

“Saya tadi cuma kebetulan lewat saja, Pak.”

Gak apa-apa. Nanti kita belajar meracik kretek lagi.”

Ada diam sejenak sebelum Riyadi menanggapi, “Tapi saya gak ada uang, Pak.”

Lihat selengkapnya