Kamis Hitam

Angga Wiwaha
Chapter #7

Berpacu dengan Kenyataan


 

1993

Selang beberapa waktu, Mirna akhirnya merasa ada yang tidak biasa. Laki-laki itu selalu terlihat canggung saat berbicara dengannya, bingung menentukan kalimat yang tepat seolah perbincangan mereka adalah diplomasi yang penting dan tak boleh salah kata. Awalnya Mirna mengira dia adalah orang yang memang punya sifat tertutup dan tidak lihai bersosialisasi. Namun, nyatanya laki-laki itu punya banyak teman, bergaul dengan baik dan berotak cerdas. Satu-satunya alasan sikap canggungnya (ternyata) adalah karena laki-laki itu memendam rasa pada dirinya.

Aditya namanya, Adit panggilan semua orang padanya. Kakak tingkatan Mirna di jurusannya yang dikenalkan kepadanya oleh Lidya. Bagaimana Lidya mengenalnya, tidak lain karena Adit dan Lidya adalah saudara sepupu.

Untuk itu, ada baiknya kita bahas Lidya terlebih dahulu. Lidya sendiri menjadi sahabat Mirna sejak kelas pertama mereka di kampus tersebut. Mirna menyukai gaya Lidya yang apa adanya, mengatakan langsung apa yang ada dalam pikirannya, mengingatkan Mirna pada gaya cablaka[1] orang-orang di kampungnya. Walau begitu, tentu saja Lidya sama sekali tidak kampungan. Dia adalah mahasiswi yang cukup berada. Mirna mengetahuinya kemudian kalau ayah Lidya adalah pejabat di salah satu BUMN. Tidak mengherankan ketika Lidya mengajaknya berkunjung ke rumah, Mirna menemukan dirinya untuk pertama kali berada di hunian megah yang memiliki dua lantai. Mirna sempat minder dibuatnya, merasa tidak pantas berkawan dengan Lidya. Walaupun berasal dari daerah yang cablaka, tapi rasa rendah diri Mirna kerap muncul jika berhadapan dengan hal-hal materialis. Namun, Lidya menepis keraguan sahabatnya itu.

“Kenapa lu?” tanya Lidya saat melihat kawannya memperlihatkan gestur tidak nyaman.

“Aku gak apa-apa nginep di sini?” tanggap Mirna ragu.

“Santai aja, Mirna,” tukas Lidya tersenyum.

“Aku gak enak sama kamu, Lid.”

Idih, apaan, sih.

“Ya, kupikir biasanya orang sepertimu mana mau berteman sama pendatang dari kampung sepertiku.”

“Mirna ..., Mirna ....” Lidya menggelengkan kepala tanda tak sepaham, “Aku tuh senang punya sahabat sepertimu. Kamu itu tulus, apa adanya, gak peduli penilaian orang lain. Dan yang paling penting, kamu gak pamrih berteman sama aku.” Ketika Lidya sudah menhilangkan “lu-gue” dalam kata-katanya, Mirna yakin kalau itu ucapan yang serius. Saat itulah Mirna mengerti bahwa pada orang-orang yang berpunya secara materi, sebenarnya menyimpan kekosongan dalam jiwanya. Mereka hanya butuh hal yang tepat untuk mengisinya. Dalam kasus Lidya, hal yang tepat itu tak lain adalah bersahabat dengan Mirna.

Melalui kedekatan inilah Mirna mulai mengenal Adit. Lidya mengenalkan saudara sepupunya itu di awal-awal mereka masuk kuliah. Walaupun rumah kedua bersepupu itu cukup dekat, masih di komplek yang sama, Lidya mengakui bahwa sebenarnya mereka tidak terlalu dekat. Hanya saling kenal sudah sejak kanak. Namun, setelah dipertemukan takdir untuk berkuliah di kampus dan jurusan yang sama, Lidya merasa harus membangun kedekatan yang baru.

Dalam kehidupan dunia kampus yang rumit, khususnya bagi mahasiswa baru, maka memiliki kenalan mahasiswa dari tingkatan yang lebih senior adalah sebuah keuntungan. Dan Adit adalah pilihan yang tepat. Dia memberi penataran yang baik kepada Lidya dan Mirna, mulai dari bagaimana akses masuk dan memanfaatkan perpustakaan, pengurusan administrasi, jajanan di pujasera mana yang paling direkomendasi, sampai sudut-sudut kampus yang biasa dipakai untuk memadu kasih oleh mahasiswa-mahasiswi yang tengah dimabuk cinta.

Di fase ini cerita tentang Adit bermula. Dalam setiap obrolan mereka yang santai, bersama beberapa mahasiswa lain juga, Mirna sering menangkap mata Adit sedang menatapnya. Saat pandangan mereka saling bersua, Adit buru-buru memalingkan wajah. Saat pertama terjadi, tentu Mirna tidak ambil pusing, apalagi berharap. Siapa dirinya kecuali mahasiswi udik dari desa, logat bicara masih kental ngapaknya, dan sangat jauh dari gaya modern anak kota. Ketika mahasiswi lain selalu berusaha mengikuti mode busana terkini, menata rambut bergaya Julia Roberts atau Paramitha Rusady, juga bertutur bicara ala metropolis Jakarta, Mirna hanya tampil apa adanya, mengurai lepas rambut yang sudah dari dulu begitu adanya dan berpakaian sebatas yang dia miliki saja. Tentu saja menarik perhatian lawan jenis bukan misinya untuk datang ke Jakarta.

Hatiku hanya punya satu tujuan di kota ini, tegasnya selalu pada dirinya sendiri.

Sebaliknya Adit, satu tahun lebih tua darinya dan Lidya, adalah salah satu mahasiswa yang dikenal cerdas di angkatannya. Jika di kampus, Adit selalu tampil rapi dengan kemeja dan rambut pendek cepak. Gayanya berbeda dengan kebanyakan mahasiswa yang memanjangkan rambut bahkan sampai gondrong atau berantakan. Kata Lidya, dulunya Adit punya keinginan masuk ABRI tetapi ditolak oleh orang tuanya, tersebab otak cerdas Adit mereka anggap lebih tepat untuk disalurkan di bidang akademik. Adit patuh, namun tetap memilih berpenampilan seperti angkatan bersenjata, setidaknya sampai tahun kedua masa kuliahnya itu, saat pertama kali Mirna bertemu dengannya.

Dengan penampilan dan kecerdasannya, ditambah statusnya yang merupakan anak dari kalangan berpunya (Lidya bilang ayahnya adalah pegawai salah satu departemen pemerintahan), tentu banyak gadis yang mencoba mencari perhatiannya atau bahkan mendekatinya. Ini hanya asumsi logis Mirna. Dia tak tahu pasti. Tetapi yang jelas, jikapun iya, dirinya bukan salah satu dari gadis-gadis itu. 

Namun, semakin sering lirik-lirik mata Adit kepadanya, dia tidak bisa lagi sepenuhnya menafikan. Mirna bukan anak kecil lagi. Dia sudah pernah jatuh cinta (dan masih begitu), maka dia pun mulai menangkap sinyal-sinyal yang muncul dari sikap Adit itu. Dan seperti menyambut firasatnya, kata-kata Lidya saat dirinya menginap malam itu mulai mengganggu misi awalnya.

Kayaknya sepupu gue suka sama lu, deh.”

Wah, kamu pintar mengarang ternyata.” Mirna menampik.

Beneran. Emang lu gak merasa aneh dengan sikap Adit? Dia gak biasanya kayak gitu,” sebut Lidya. Mirna menyimak, berusaha tak acuh walau sulit. “Kalau lu peka pasti sadar. Apa lagi namanya kalau cowok sering melirik ke satu cewek, grogi kalau ngomong di depan cewek itu, dan sering tanya soal kabar? Pasti dia suka sama lu, Mir.”

“Mas Adit sering tanya kabarku?” Mirna yang baru tahu tidak dapat menyembunyikan herannya.

“Kenapa? Kaget, dia bisa suka sama lu?”

“Mungkin kamu salah,” tampik Mirna, “Tanya kabar belum tentu suka. Barangkali dia cuma penasaran. Jarang-jarang ketemu perempuan desa, mungkin.”

Ih, Mirna, ngeles aja lu.” Lidya gemas kali ini. Anak desa itu ternyata bisa bebal juga. Mirna hanya tertawa melihat kawannya itu bersungut.

“Coba bayangin, deh,” ucap Lidya kemudian, “Kalau lu buka hati, terus ternyata Adit nyatakan cinta, terus lu terima, pasti hidup lu di kampus dan di Jakarta ini bakal lebih enak.”

“Belum tentu juga, Lidya,” tampik Mirna, “Mahasiswa pintar kayak Mas Adit pasti banyak yang suka. Yang ada nanti malah aku dimusuhin sama kakak tingkatan. Gak mau, ah.

Lidya terus menggoda, Mirna lanjut menolaknya. Tapi dari cara penolakannya yang kolot itu, Lidya bisa merasakan kalau Mirna bukan sekadar minder pada perbedaan statusnya dengan Adit. Ada yang lebih dari itu.

Lu udah punya pacar di kampung, ya, Mir?”

Mirna takjub juga mendengar pertanyaan itu, “Wah, kamu sekarang malah jadi cenayang, Lid. Hahaha ...,” gelak Mirna menutupi gugupnya.

Ngaku, deh. Benar, ‘kan?”

Gak sepenuhnya salah, sih.”

“Maksudnya?” Lidya tidak menangkap maksud sahabatnya.

Percuma juga kututup-tutupi, cetus Mirna membatin.

Alih-alih menjelaskan, Mirna kemudian merogoh sesuatu dari tas yang sebelumnya Lidya kira hanya berisi pakaian gantinya saja. Dari tas itu, seolah datang dari dimensi dan garis waktu berbeda, sebuah buku lusuh berwarna kelabu muncul dan disuguhkan di hadapan Lidya.

Lihat selengkapnya