Kamis Hitam

Angga Wiwaha
Chapter #8

Mengembalikan Chairil Anwar


 

Akibat kedekatan hubungan Lidya dengan Adit sebagai saudara sepupu, Mirna tidak pernah bisa menceritakan betapa runyam hubungan cintanya dengan Riyadi. Semuanya terpaksa dia simpan sendiri. Mirna selalu bisa mengelak dari Lidya bahwa perjuangan cintanya belum berakhir, dan ini hanya soal waktu sampai dia dan Riyadi bisa memupuk masa depan bersama. Tapi itu semua palsu. Mirna tidak bisa bohong pada dirinya sendiri, bahwa sejatinya dia sudah cukup lelah menuntut janji Riyadi. Dia tidak pernah menceritakan pada Lidya bahwa menggebunya rindu, keberaniannya pergi ke Jakarta, hingga perjuangannya mendapat restu semuanya tidak dianggap bermakna oleh laki-laki pujaan hatinya itu. Betapa akan terlihat bodoh dirinya di hadapan Mirna jika dia tahu itu, apalagi Mirna dihadapkan pada laki-laki yang masih siap menunggu cintanya: Adit.

Dari empat tahun perjuangannya menuntut janji cinta Riyadi, berkali-kali dia mencoba meyakinkan laki-laki itu kembali. Tapi gayung tak kunjung bersambut. Kejutan yang Mirna harap menjadi sumbu peletup ledakan cinta mereka, ternyata malah disambut penolakan yang begitu menyayat hatinya. Alih-alih, murka Riyadi yang meledak kepadanya.

Bagi Mirna, penderitaan terperih dari mencintai adalah ketika pertanyaan “Mengapa?” tergantung begitu lama. Riyadi tidak pernah menjelaskan alasannya. Dia selalu lari. Menghindar. Bahkan Mirna sempat menaruh sangka bahwa betapa lamanya Riyadi menyelesaikan kuliah tak lain untuk menghindari dirinya. Di tahun menjelang wisuda Mirna, 1997, Riyadi masih betah menempuh semester kedua-belasnya.

Jika semuanya jelas, aku pun siap melepas.  

Dari segala lika-liku yang telah dia tempuh, Mirna dapat memilih dua momen yang paling menyakitkan: pertemuan pertama empat tahun lalu dan pertemuan terakhir mereka tadi malam.

 

1993

Surat kelulusan masuk universitas negeri itu berada dalam genggaman Mirna. Selama beberapa bulan pertama menikmati udara berpolusi Jakarta, Mirna benar-benar hanya fokus untuk belajar untuk mengikuti UMPTN[1]. Akhirnya dia pun benar-benar lulus. Satu amanat orang tuanya berhasil terlaksana. Selama masa persiapan dan ujian itu, lalu melalui masa orientasi mahasiswa baru, hingga masa perkuliahan dimulai, Mirna sama sekali tidak memberi tahu Riyadi tentang keberadaannya. Setelah surat-suratnya berhenti datang, Mirna yakin tidak ada seorang pun yang akan memberi tahu Riyadi soal kedatangannya ke ibu kota.

Kedatanganku akan membuatnya terkejut senang! pikirnya kala itu.

Hari itu dia mendatangi kampus Riyadi, ditemani salah satu anak pamannya. Maklum, Mirna sama sekali tidak tahu harus naik apa menuju kampus itu. Modalnya hanya kenekatan dan rasa rindu. Setelah sampai, sepupu yang mengantarnya bersedia untuk berpisah, dan berjanji untuk bertemu lagi di gerbang utama kampus sekitar dua jam kemudian. Sayangnya, Mirna tidak butuh waktu sebanyak itu.

Setelah bertanya ke sana kemari, Mirna berhasil menemukan gedung dan ruang kelas Riyadi. Laki-laki itu ada di dalam sana. Mirna juga mendapat info kalau kelas Riyadi akan segera selesai saat dirinya sampai di situ. Semakin dekat waktu pertemuan, di dalam kepala Mirna berputar berbagai skenario dan rencana, kalimat-kalimat apa yang akan dia sampaikan, ekspresi apa yang harus dia tampilkan, hingga apa yang harus dia lakukan untuk menumpahkan kerinduan.

Apa aku harus memeluknya?

Terdengar sedikit kegaduhan dari dalam, tanda mahasiswa bersiap untuk menyelesaikan kelas. Saat kelas itu benar-benar bubar, detak jantung Mirna semakin cepat berpacu seiring satu demi satu mahasiswa keluar dari ruangan satu pintu itu. Itu pertama baginya, bagaimana cinta dapat membuatnya berdebar sangat kencang. Detik berjalan lambat, hingga akhirnya yang ditunggu muncul dari balik pintu.

“Mas Yadi!” seru Mirna di depan semua orang. Dia tidak bisa mengendalikan bungahnya.

Sang kekasih pun menoleh, sebagaimana semua orang di sana. Saat rekan-rekannya sadar bahwa Riyadi lah yang dicari gadis muda yang tak dikenal itu, Mirna, semua pun menggodanya dengan bermacam-macam sahutan. Mirna yang sadar menjadi pusat perhatian tersenyum malu.

Namun berbeda dengannya, Riyadi malah menampakkan wajah muram nan ketus. Dahinya berkerut seolah tidak terima dengan peristiwa pertemuan mereka, alih-alih tersipu malu. Dengan ekspresi yang tidak bisa Mirna terka maksudnya itu, Riyadi datang menghampirinya. Dengan wak sangka yang baik, Mirna menyambut kekasihnya itu dengan senyum termanis yang dia miliki. Namun, masih dengan ekspresi ketusnya, Riyadi segera menyambar tangan Mirna.

“Mas Yadi, aku ....” Belum selesai kata-kata Mirna, Riyadi sudah menarik dirinya. Mirna dibawanya ke sisi lain gedung itu. Keduanya berjalan hingga bagian samping gedung yang berbatasan dengan tembok keliling. Tidak ada orang di sana. Dalam pikiran Mirna, Riyadi pasti malu kalau harus menumpahkan rindu di tengah kerumunan orang.

Apa dia berniat memelukku erat?

“Kenapa kamu ke Jakarta?!” bentak Riyadi. Senyum yang tadi terukir di bibir Mirna seraya sirna mendengar hardikan itu. Disertai bungkam. Pikirannya lalu mencerna kejadian yang sama sekali tidak ada dalam rancangan skenario yang Mirna rencanakan itu.

“Kenapa kamu ke Jakarta?!” Riyadi mengulang pertanyaannya yang membangunkan Mirna dari kebingungan.

“Aku mau kasih Mas Yadi kejutan.”

“Kenapa kamu bilang tidak dulu?!"

“Kalau aku bilang dulu, namanya bukan kejutan.” Mirna masih coba menanggapi dengan tenang.

“Bukan itu maksudku!” balas Riyadi sebelum menggerutu kesal, “Aaarrrgh!” serunya sambil membuang muka.

Lihat selengkapnya