Kamis Hitam

Angga Wiwaha
Chapter #9

Mengembalikan Chairil Anwar - 2


1997

Ini kesempatan terakhirku!

Empat tahun berlalu begitu cepat bagi Mirna. Waktu mengalir deras seperti sungai kecil di alas Miramba, tempat pertama kali kupu-kupu beterbangan dalam diri Mirna tersebab perlakuan Riyadi padanya. Dalam empat tahun itu, Mirna menjalani status mahasiswanya dengan sangat baik, tepat waktu, menyelesaikan tugas akhir dengan optimal dan mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Pesan bapak-ibunya telah dia emban dengan penuh amanah, dan tahun ini adalah tahun terakhirnya. Tidak akan Mirna perpanjang. Dia siap menjalani wisuda.

Namun seperti dua kutub yang bertolak belakang, perjuangan cintanya justru di ambang usai dengan hasil yang berantakan. Empat tahun bergulir tanpa bisa dia mendapat kepastian dari Riyadi. Laki-laki yang sudah menyita seluruh hati Mirna itu tak bergeming dari keputusannya menolak kehadirannya di Jakarta. Lebih dari itu, saat Mirna berusaha merekonsiliasi hubungan mereka, mengajak Riyadi duduk dan membicarakan bagaimana baiknya, mahasiswa jurusan hukum itu selalu menghindar. Dalam setiap penolakannya, Mirna bisa menyimpulkannya dalam satu kalimat:

“Kalau kamu masih berada di Jakarta, berarti ini semua tentang kamu, bukan tentang kita.”

Kepedihan apa lagi yang lebih menyakitkan ketimbang ditolak oleh tujuan awalnya datang merantau ke Jakarta. Setelah menebas semua aral, tabu dan stereotip masyarakatnya, Mirna malah tidak pernah memprediksi bahwa seorang laki-laki ternyata memiliki ego yang sangat besar untuk sekadar dihargai. Riyadi berpegang pada itu. Mirna alpa soal itu.

Berbeda darinya yang menyelesaikan kuliah secepat yang dia bisa, Riyadi malah tak kunjung selesai dari masa studinya. Saat Mirna sudah siap menghadapi wisuda, Riyadi malah seperti mengulur-ulur waktu menyelesaikan skripsi. Bahkan dia masih mengambil beberapa SKS mata kuliah untuk memperbaiki nilainya. Itu informasi yang Mirna dapat dari rasa penasarannya pada hidup laki-laki itu. Mirna sempat menduga, semua itu karena dirinya.

Di masa empat tahun itu, banyak yang telah terjadi. Mirna tidak pernah memutuskan untuk pindah dari rumah pamannya, kehidupannya di ibu kota pun ditopang oleh pekerjaannya membantu bisnis konveksi milik pamannya. Persahabatannya dengan Lidya terus berjalan, bahkan mereka sudah memutuskan untuk wisuda lalu mencari kerja bersama selepasnya. Selama waktu itu pula beberapa laki-laki mencoba menjajaki hatinya. Namun, begitu dalamnya sosok Riyadi menancap di palung hatinya membuat semua laki-laki yang datang itu tertolak dan mundur. Kecuali satu orang, Adit, sepupu Lidya yang sudah menyuratinya bahkan sejak tahun pertama Mirna berkuliah. Surat-surat itu masih beberapa kali datang dan Mirna hanya bisa membalasnya dengan titipan salam dan terima kasih melalui Lidya. Setiap permintaan pergi berdua pasti Mirna tolak atau membawa Lidya sebagai syaratnya. Adit tidak pernah dia beri kesempatan menyatakan cinta secara layak.

Menghadapi semua itu, tidak menyerah juga Adit menaruh harapan pada Mirna, bahkan setelah dia lulus setahun lebih dulu dari Mirna dan Lidya. Mirna tahu, Adit mampu bertahan dalam harapan itu tak lain karena hubungan cintanya dengan Riyadi yang tak kunjung jelas. Tak pernah secara gamblang Mirna ceritakan, tapi Lidya pasti dapat membaca situasi kalau hubungan dirinya dan Riyadi tak pernah baik-baik saja. Dan sebagai comblang, tentu semua itu dia ungkap pada Adit. Mirna tidak bisa menahannya.

Di lain pihak, kehidupan mahasiswa yang dijalani Riyadi sungguh jauh dari bayangan Mirna akan sosok laki-laki itu. Bahkan setelah di Jakarta, Mirna tetap tidak pernah tahu di mana sebenarnya laki-laki itu tinggal. Teman-temannya bilang hidupnya nomaden, berpindah-pindah mencari indekos atau kontrakan termurah, hingga akhirnya tidak diketahui lagi di mana sebenarnya Riyadi berhuni. Seorang teman menyebutkan desas-desus kalau Riyadi tinggal di sebuah kios di Pasar Cijantung. Tentu saja Mirna tak semudah itu percaya.

Di pertengahan kuliahnya, Riyadi bergabung dengan teater kampusnya. Satu lagi yang tak pernah Mirna sangka. Bukan hanya aktif berkegiatan seni, melalui komunitas teater itu Riyadi juga mulai berkecimpung dengan gerakan-gerakan aktivis mahasiswa lintas kampus. Yang Mirna tahu, gerakan itu sering menyuarakan narasi-narasi berbau politis dan menentang rezim. Kegiatan para aktivis ini biasanya berpusat di sebuah posko, yang sebenarnya tak lain adalah rumah yang mereka sewa bersama di daerah padat penduduk. Strategi itu bertujuan untuk menghindar dari pengawasan aparat. Di rumah posko inilah Mirna beberapa kali berusaha menemui Riyadi. Namun, seperti yang sudah disebutkan, Riyadi selalu menghindar.

Sejak tahun 1996 hingga 1997 kondisi politik negeri menginjak tensi yang semakin memanas. Sebagai mahasiswa, apalagi kampusnya berada di pusat kota Jakarta, Mirna pasti tahu gonjang-ganjing yang terjadi. Apalagi salah satu peristiwa terbesar saat itu, Kudatuli,[1] meledak hebat dan amukan massa juga hampir menyasar kampusnya di Salemba. Beruntung, Mirna dan Lidya tengah menjalankan tugas KKN di wilayah Sukabumi kala itu. Walau selamat dari dampak langsungnya, Mirna tidak bisa abai begitu saja mengingat Riyadi bisa saja ada dalam peristiwa itu. Terlibat? Semoga tidak. Saat itu Mirna begitu memikirkan Riyadi, bukan hanya soal kelanjutan kisah cinta mereka tapi juga keselamatan laki-laki itu dalam kegiatan aktivisnya.

Pasca kejadian itu dan Mirna sudah kembali dari KKN-nya, dia mendapati posko aktivis tempat dia sering mencari Riyadi sudah tidak digunakan lagi. Orang yang dia kenal, aktivis mahasiswa dari kampusnya sendiri, menyebut kalau para aktivis kampus tidak bisa lagi berkegiatan di satu lokasi tetap. Terlampau rawan diawasi aparat yang sayangnya semakin represif dalam bertindak. Bahkan terkadang sembunyi-sembunyi. Kita tidak pernah tahu, sebut orang yang Mirna kenal itu, aparat bisa saja berada di sekitar mereka dengan penampilan rakyat sipil, mengawasi dari dekat maupun dari jauh.

Salah satu aktivis kampusnya juga menginfokan kepada Mirna, kerusuhan kala itu diawali kisruh internal salah satu partai sehingga mahasiswa tidak tergerak untuk terlibat sejak awal. Bisa diasumsikan kalau Riyadi aman.

Mirna kemudian dapat sepenuhnya bernapas lega setelah memastikan bahwa Riyadi tidak ikut (atau terlibat) dalam kerusuhan itu. Kabar itu dia dapat setelah tahu ada kegiatan teater di kampus Riyadi yang akan diikuti laki-laki itu, walau belakangan Mirna juga tahu kalau kegiatan-kegiatan teater itu menjadi salah satu cara mengelabui aparat. Di dalamnya, aktivitas apa pun bisa terjadi, termasuk perundingan-perundingan untuk pergerakan besar mahasiswa.

Berbeda dari sebelumnya, kali ini mahasiswa akan terlibat, setelah mengetahui ada andil pemerintah dalam peristiwa tahun lalu yang diikuti rentetan kerusuhan di berbagai daerah. Dan tentu saja, sebagai aktivis, Riyadi juga akan terlibat. Di titik ini Mirna berdoa semoga alasan Riyadi berkecimpung di sana adalah benar-benar karena dirinya. Mengetahui keselamatan Riyadi terancam terasa lebih mengerikan dibanding tidak mendapat kepastian cinta.

“Terus itu buku gimana?” Pertanyaan Lidya siang itu terngiang lagi.

“Kesempatan terakhir,” tanggapnya waktu itu. Maksud Mirna jelas, ini adalah kesempatan terakhir untuk mempertanyakan kelanjutan cerita mereka. Malam ini Mirna akan datang ke acara teater Riyadi dengan membawa dua misi, yaitu meyakinkan Riyadi untuk kembali padanya dan meminta laki-laki itu untuk meninggalkan kegiatannya sebagai aktivis. Yang kedua harus tercapai, apa pun konsekuensinya untuk misi pertama.

 

Hari sudah gelap ketika Mirna sampai di tempat itu. Dari info yang dia tahu, agenda teater malam itu adalah pembacaan puisi-puisi perjuangan dari anggota teater mahasiswa lintas kampus. Sebagaimana kebanyakan rumah yang digunakan sebagai basecamp kegiatan-kegiatan mahasiswa di eksternal kampus, tempat itu sangat sederhana. Tanpa banyak perabotan, mengantisipasi jika ada sidak dan/atau pembubaran. Semua orang yang hadir hanya duduk lesehan baik di dalam maupun di teras rumah. Di bagian dalam disediakan sebuah kursi kayu yang ditempatkan sebagai fokus acara di tengah. Mungkin, Mirna mengira, para pembaca puisi akan bergiliran maju dan berdiri atau duduk di situ.

Namun tentu saja Mirna masa bodoh dengan itu semua. Tujuan Mirna memperhatikan setiap detail itu adalah untuk mengetahui keberadaan Riyadi. Sayangnya, sekali lagi Mirna akan mengetahui kalau misinya gagal total. Lebih jauh, hal itu dia ketahui dengan cara yang tidak pernah dia sangka sebelumnya. Lagi-lagi, Riyadi mengacaukan skenario dan ekspektasinya.

“Mbak Mirna, ya?” Sebuah suara mengagetkannya dari kesendirian di tengah keramaian. Suara perempuan.

“Iya,” ucap Mirna sambil menoleh kepada pemilik suara, “Maaf, saya mau ikut nonton juga, boleh?” lanjutnya berbohong.

“Kenalin, aku Niken.” Perempuan itu hanya tersenyum tipis sambil mengulurkan tangan. Mirna menyambutnya dengan ragu, masih bingung kenapa orang itu mengenal dirinya.

“Bingung, ya, aku bisa tahu Mbak Mirna dari mana?” tanyanya masih dengan senyuman, seperti ekspresi senang karena berhasil membuat Mirna bingung.

“Tahu nama saya dari mana, Mbak Niken?”

“Aku satu angkatan dan satu jurusan sama Yadi,” ucap Niken. Seperti sudah menjadi insting, Mirna mulai memperhatikan sosok perempuan itu. Walau mengenakan busana serba hitam, Mirna tidak bisa berbohong tentang kecantikannya. “Cantik orang kota” istilah yang kerap Mirna pakai. Dengan pulasan tipis di bibirnya serta rambutnya yang panjang terawat, Mirna teringat akan Lidya. Seperti sahabatnya itu, gadis bernama Niken ini pasti bukan orang biasa.

Temannya seperti ini, pantas dia melupakan aku, gerutu Mirna dalam hati.

“Oh, begitu,” tanggap Mirna, “Tapi sepertinya Mas Yadi belum mengenalkan kita.” Lebih tepatnya Riyadi belum pernah mengenalkan siapa-siapa kepada Mirna. Bagaimana mungkin jika bertemu dengannya saja begitu sulit.

“Aku tahu dari buku puisi itu,” ucap Niken sambil menunjuk buku puisi bersampul kelabu yang dibawa Mirna sedari tadi.

Bagi Mirna, ini malah lebih gila lagi! Bahkan perempuan itu tahu soal buku puisi yang dia bawa, satu-satunya saksi dititipkannya cinta Riyadi kepadanya, satu-satunya benda yang akan menautkan hubungan antara Mirna dan Riyadi selamanya.

Siapa perempuan ini sebenarnya? Apa mungkin ...

“Maaf, Mba Niken, sekarang saya benar-benar bingung,” sanggah Mirna sambil mulai menata emosi, “Mba Niken tahu nama saya, bahkan tahu tentang buku ini. Jangan bilang Mba Niken tahu juga tentang hubungan antara saya dan Mas Yadi.”

Lihat selengkapnya