Kamis Hitam

Angga Wiwaha
Chapter #11

Dia yang Meninggalkan Puisinya

 

Mei, 1998

Bagi Mirna, Riyadi adalah prolog dalam cerita hatinya, tokoh utama juga latar belakang kisahnya, konflik sekaligus perjuangannya. Namun, apa yang telah terjadi setahun yang lalu menempatkan Riyadi bukan menjadi akhir ceritanya. Mirna harus memahami, tidak semua cerita berakhir seperti Cinderella. Seiring berjalannya hidup yang baru, Mirna telah berdamai dengan akhir yang tidak pernah dia rencanakan. Lebih jauh, Mirna kini telah berdamai dengan segala kejutan.

Namun, sekali lagi Mirna tercerah bahwa Tuhan adalah setinggi-tingginya sutradara kehidupan.

Rangkaian kerusuhan yang terjadi di ibu kota ternyata membawa hal yang tidak pernah Mirna sangka. Empat tahun lamanya dia mengemis cinta kepada Riyadi, laki-laki yang telah menyita hatinya. Mencoba mencarinya ke segala tempat, mengatur segenap waktu dan skenario pertemuan dengannya, tetapi tidak satu pun berakhir indah bagi Mirna. Riyadi selalu pergi menghindar, menolaknya dengan cara yang begitu menyakitkan. Namun tersebab riuh ricuhnya Jakarta, justru Riyadi yang kini mengetuk pintu rumahnya. Manyambangi dirinya.

Mas Yadi datang kepadaku!

“Sekarang ceritakan, kenapa Mas Yadi bisa sampai di sini dan dalam keadaan begini.”

Riyadi terdiam sejenak, menyiapkan urutan kisah.

“Kamu tahu kondisi Jakarta sekarang?” tanya Riyadi.

“Iya. Parah,” tanggap Mirna, “Aku juga sudah dua minggu dirumahkan, karena tidak bisa diprediksi kerusuhan bisa muncul di mana saja dan kapan saja.” Pekerjaan itu sejatinya baru Mirna dapatkan di awal tahun, tetapi tak sempat dijalankan lama karena prahara ekonomi segera menerpa.

Belum sempat Riyadi melanjutkan cerita, obrolan mereka dikejutkan suara dari pintu yang terbuka. Muncul dari balik pintu, seseorang yang akan membuat rekonsiliasi kisah Mirna dan Riyadi malam itu menjadi rumit.

“Ada tamu, Sayang?” tanya laki-laki yang keluar dari kamar itu.

“Mas Adit?” Ada nada kejut dalam suara Mirna. Suaminya terbangun dari tidur, mungkin karena tidak biasa ada tamu semalam itu.

“Maaf mengganggu tengah malam begini, Mas.” Riyadi minta maaf seraya berdiri menyambut tuan rumah yang dia ganggu tidurnya.

Aduh, harus kumulai bagaimana semua ini? Mirna berpikir keras.

“Adit,” ucap suami Mirna memperkenalkan diri.

“Yadi,” sambut Riyadi sambil menjabat tangan suami Mirna.

“Mas Yadi ini teman lama Mirna dari kampung, Mas.” Mirna mencoba menjaga sikap. Tidak pernah terbayang sedikit pun dua laki-laki di depannya ini akan bertemu.

“Maaf juga,” kata Riyadi, “Saya gak datang ke pernikahan kalian. Biasa, mahasiswa abadi,” canda Riyadi mencoba mencairkan suasana. Mirna hanya bisa cengengesan, masih bingung harus diarahkan ke mana pertemuan ini.

Gak apa-apa. Silakan duduk, Mas.” Adit mempersilakan.

“Jadi Mas Yadi ini jauh-jauh dari Jakarta,” sebut Mirna, “Dan terpaksa ‘berkunjung’ ke sini karena situasi yang tidak aman.”

“Tidak aman gimana?” Adit mendesak ingin tahu.

Sesaat ujung mata Mirna dan Riyadi saling bertemu, seolah mengirimkan sinyal “Ayo, kamu bicara lebih dulu!”

“Mas Adit ingat Gesit?” tanya Riyadi.

“Gesit? Gesit Gemblung?”

“Iya. Gesit Gemblung,” tanggap Riyadi, “Minggu lalu saya ke kampus kalian di Salemba, nemenin Gesit Gemblung jemput teman-teman yang terkurung di kampus ABA-ABI.”

“Terus? Dia gimana?”

“Kita dihalangi pihak keamanan,” sebut Riyadi, “Akibatnya ada dorong-dorongan dengan mereka yang didukung panser dan berlapis-lapis tentara di depan kampus kalian. Aku ikut di tengah-tengah bentrokan. Gesit yang paling emosi gara-gara aparat menendang pakai sepatu combat. Gila pokoknya.”

“Misi kita simpel sebenarnya,” lanjut Riyadi, “Kita cuma mau kasih tau anak-anak di ABA-ABI untuk bertahan dan jangan turun ke jalan. Jangan mulai aksi dulu.”

“Kenapa?” Mirna kali ini yang bertanya.

“Ada pihak-pihak yang sengaja mau bikin kita turun ke jalan?”

“Maksudnya? Kenapa begitu?”

“Biar ada alasan mereka menindak represif. Anarkis, lah. Penyebab kerusuhan dan penjarahan, lah. Kalau sudah ditekan, harapannya kita bakal bungkam.”

“Benar saja,” lanjut Riyadi, “Beberapa hari kemudian pemberitaan media sudah memojokkan aksi mahasiswa, khususnya di daerah-daerah. Toko-toko china dirampoki, bus sama mobil dibalikkan dan dibakar.” Riyadi menghela napas sejenak saat menceritakannya, “Berita provokatif bilang kalau rusuh-rusuh itu dimulai dari aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Padahal, menurut saya, kerusuhan itu dimulai dari kekerasan aparat.”

“Apa itu juga jadi penyebab kejadian tanggal dua belas kemarin?” tanya Adit.

“Trtisakti.” Mirna menegaskan. Sejatinya hari itu matanya tak bisa lepas dari televisi. Puluhan ribu jumlah mereka. Banyak rekan seangkatannya yang belum lulus maupun adik angkatan yang masih menempuh kuliah, dan pastinya ikut dalam aksi-aksi tersebut. Dia terus berdoa agar nama-nama orang yang dia kenal tidak muncul dan tertera di layar televisi. Menjadi korban. Tentu saja ada nama Riyadi juga dalam doanya.

“Ya, betul,” kata Riyadi, “Kejadian itu tegang sampai malam. Kita masih terus ditembaki. Korban-korban bergelimpangan. Aku ada di sana. Sampai malam bantu yang luka-luka, dan antar ke Sumber Waras. Baru dari sana kami pergi ke posko di Depok.”

Depok?

Terdetik dalam hati Mirna, inilah alasan bagaimana Riyadi bisa tahu banyak tentang hidupnya. Pernikahannya dengan Adit, kesamaan kampusnya dengan Adit, bahkan sampai lokasi rumah mereka yang notabene di dalam komplek perumahan. Dia pasti kenal dengan aktivis-aktivis lintas kampus yang mengenal Mirna dan Adit serta hubungan mereka.

“Depok?” Adit yang ternyata menegaskan pertanyaan di benak Mirna.

“Kami ada posko pusat koordinasi di sana. Anak-anak kampus Depok juga yang memobilisasi bus untuk berangkat ke pusat Jakarta. Rencananya tadi pagi seharusnya kami bergerak. Tapi gara-gara kejadian di Grogol, koordinasi buyar. Lebih parah, posko Depok sudah berantakan dan dirusak saat kami sampai di sana.”

“Ada apa di sana?”

Ada jeda yang cukup lama. Riyadi kemudian menundukkan wajahnya. Mirna dan Adit bertanya-tanya, mengapa cerita yang bersemangat tadi berubah menjadi sedu. Riyadi seperti sedang menahan tangis. Kalau diingat-ingat, seumur hidupnya mengenal Riyadi, Mirna tidak pernah melihat laki-laki itu menangis. Bahkan dengan naifnya, Mirna sempat berpikir kalau hidup Riyadi selalu penuh optimisme dan bahagia. Tentu itu sebelum dia mendengar cerita dari Niken, perempuan yang menemui dirinya di malam puisi tahun lalu.

“Kami mengira,” ucap Riyadi yang memecah lamunan Mirna, “Para perusak itu mencari seseorang di antara kami. Tidak mau ambil risiko, kami memilih untuk pulang dulu malam itu juga. Koordinasi akan dilanjutkan melihat kondisi besok.” Setelah mengucap itu, Riyadi tertunduk lagi. Menahan isak.

Mirna dan Adit kembali saling berpandangan. Bertanya-tanya.

“Lalu gimana, Mas?” Mirna memberanikan bertanya.

Lihat selengkapnya