Mei, 1998
Ling We Tobacco House menikmati masa jaya di tiga tahun pertamanya. Namun, hanya dalam kurun beberapa bulan kemudian, kehidupan dan bisnis Gunawan itu tergulung seratus delapan puluh derajat. Apa yang dia pupuk sejak awal masa rantaunya di Jakarta, dengan modal sedikit keahlian dan lebih banyak kenekatan, akhirnya menemui kesulitan dan tantangan yang sebenarnya. Tidak berlebihan jika Gunawan menyebut rentetan peristiwa yang terjadi di tahun itu adalah jalan yang tengah mengantarkan Ling We Tobacco House menuju kehancuran.
Hal yang paling membuat Gunawan kesal adalah semua penyebab itu terjadi di luar kendalinya. Karena ramainya gonjang-ganjing ekonomi yang dia dengar dari para pelanggannya, Gunawan pun jadi lebih sering menonton televisi, demi mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi. Selepas Pemilu tahun lalu, perekonomian mulai bergerak mundur ditandai dengan nilai tukar dolar Amerika yang melambung. Sebagai pemasok tembakau dari beberapa negara dengan pembayaran tangguh, kenaikan nilai mata uang itu membuatnya berat membayar tagihan pesanan. Hingga akhirnya Gunawan memutuskan untuk berhenti menjual tembakau impor. Fokus tembakau lokal saja.
Ternyata itu sama sekali tidak membantu, lagi-lagi di luar kendalinya. Gunawan makin kelimpungan. Kenaikan harga tidak hanya berlaku buat barang yang terdampak nilai tukar valuta asing, tetapi barang-barang kebutuhan dalam negeri pun merangkak naik harganya. Saat itulah senyum semangat Gunawan beralih menjadi sungging pasi. Toko sebenarnya masih cukup ramai, Gunawan pun masih sama menariknya ketika mengolah tembakau dan ramuan-ramuan itu. Namun, ketika disinggung urusan uang dan pendapatan gairahnya seketika lenyap, beralih jadi sendu dan putus asa. Karena Ling We Tobacco House adalah bisnis yang mengedepankan asas persahabatan dalam strategi penjualannya, maka menaikkan harga secara signifikan dan tiba-tiba akan mencoreng nama baik itu.
Krisis yang semakin memburuk juga menyasar ke sektor perbankan. Itu kata berita di televisi yang Gunawan pirsa. Beberapa bank ditutup oleh pemerintah akibat tidak mampu membayar utang dalam valuta asing, yang sayangnya malah mengorbankan dana deposannya. Semua orang panik dan tak percaya lagi menyimpan uangnya di bank, khawatir bank mereka bisa saja ditutup sewaktu-waktu. Para nasabah yang bank-nya belum tutup pun bersamaan menarik uang mereka secara besar-besaran. Rush Money, istilah yang sering Gunawan dengar dari pemberitaan.
Tidak ada satu bank pun yang luput dari dampak. Untuk menahan laju penarikan uang secara massal itu, seluruh bank kompak menaikkan suku bunga tabungan, yang konsekuensinya adalah meningkatkan suku bunga pinjaman. Keputusan itu juga diambil oleh bank tempat Gunawan mengambil kredit ruko miliknya. Di sinilah bisnis Gunawan terdampak keras. Wal hasil, hanya dalam kurun waktu lima bulan, Januari hingga Mei, sudah tiga kali surat datang kepada Gunawan yang menginformasikan tentang kenaikan angsuran kredit yang harus dia bayar. Bahkan sejak surat pertama datang, Gunawan sudah merasa tidak akan sanggup memenuhi nominal yang tertera.
Bagaimana dengan Riyadi? Aih, pemuda itu sudah tidak pantas dia sebut mahasiswa. Tampang dan fisiknya sudah terlalu tua untuk masih menjabat status pelajar. Entah, Gunawan pun heran, apakah tidak ada keluarga di kampungnya yang memprotes betapa lamanya dia menghabiskan waktu untuk belajar? Atau, Riyadi berbohong kepada mereka bahwa dirinya sudah lulus?
Sekali lagi sulit bagi Gunawan memastikannya, karena sejak berakhirnya masa Pemilu tahun lalu Riyadi sangat jarang pulang. Dia bilang ada kegiatan kampus yang tidak bisa ditinggalkan. Sayangnya, Gunawan harus berpegang pada janjinya di awal mereka menjalin kerja sama, kemudian menjadi keluarga, bahwa Riyadi dipersilakan untuk memprioritaskan kuliahnya. Itu kalau benar-benar kegiatan kampus yang dia maksud. Gunawan tidak buta, dan dia tahu betul bahwa Riyadi sedang melibatkan diri dalam berbagai aksi demonstrasi yang dijalankan mahasiswa. Terjadi sejak tahun lalu, bertepatan saat Riyadi semakin jarang pulang, dan intensitasnya semakin meningkat di beberapa bulan terakhir.
Imbasnya, Gunawan pun harus menutup tokonya. Entah sampai kapan. Aksi demonstrasi sudah menjalar menjadi aksi-aksi pengrusakan dan penjarahan toko di berbagai titik di Jakarta. Bulan itu seperti menjadi masa yang begitu membara dan penuh ketidakpastian. Sedikit saja tidak berhati-hati, siapa pun atau apa pun dapat menjadi sasaran. Sambil menyaksikan semua berita yang ditayangkan di televisi, Gunawan terus memantau keadaan sekitar, memastikan tidak ada indikasi yang mengkhawatirkan. Yang cukup dia syukuri, berbanding terbalik dengan tayangan televisi di mana jalan-jalan protokol dipenuhi kendaraan terbakar, batu dan kayu berserakan, hingga benda-benda elektronik yang entah milik siapa tersebar berantakan, penuh kekacauan, area tempat dia dan keluarganya bermukim relatif lengang. Aman. Hanya sesekali beberapa pemuda dan tokoh masyarakat setempat berkeliling mengamankan wilayah, memastikan setiap warga tinggal di rumah dan tidak melibatkan diri dalam aksi apa pun. Riyadi tentu jadi pengecualian, karena keberadaannya saja tidak jelas. Khawatir tentu saja Gunawan rasakan. Riyadi bisa saja terluka atau bahkan lebih parah. Tapi tentu Gunawan hanya bisa berdoa, bahwa apa pun yang Riyadi jalankan adalah sesuatu yang baik.
Yang Gunawan tidak tahu, puncak aksi itu akan segera datang. Dan yang lebih Gunawan tidak tahu, Ling We Tobacco House benar-benar sedang terancam.
Dug-dug-dug!
Pagi masih sangat buta ketika gedoran keras terdengar dari pintu geser toko yang sudah tertutup rapat beberapa hari terakhir. Pintu yang terbuat dari kayu-kayu lebar dan tebal itu menimbulkan suara dentuman rendah. Namun bagian toko lantai satu yang desainnya terbuka menjadikan suara gedoran itu menimbulkan efek gema yang konstan, seperti detak jantung yang berdegup tegang.
Gunawan yang sebelumnya berada di lantai dua pun terburu turun menghampiri ambang pintu yang dia kunci dari sisi dalam.
“Siapa?” tanya Gunawan.
“Ini Yadi, Pak,” sambut suara di seberang. Mendengar itu buru-buru Gunawan membuka kunci pintu.
“Yadi, kamu sendiri?” tanya Gunawan saat Riyadi terburu masuk. Gunawan pun menoleh ke luar pintu, memastikan Yadi benar-benar sendiri sebelum menguncinya kembali. Semua masih gelap, tidak ada pergerakan dari entitas yang mencurigakan. Bukan tanpa alasan Gunawan melakukannya. Itu karena penampilan Yadi yang berantakan, kotor dan bermandi peluh. Mahasiswa itu seperti tengah lari bersembunyi dari sesuatu.
“Sialan!” teriak Riyadi sambil melempar jas almamater berwarna hijaunya.
“Kamu kenapa?”
“Udah masuk berita, belum, Pak?”
“Apa yang masuk berita?”
“Mahasiswa ada yang ditembak. Meninggal!”
“Innalillahi ...,” seru Gunawan, “Di mana?” lanjutnya bertanya.
“Trisakti. Grogol. Kemarin sore,” sebut Riyadi terbata-bata sambil mondar-mandir di sekitar etalase yang masih memajang beberapa bungkus tembakau. Dirinya seperti memikirkan sesuatu.
“Kamu dari sana?”
“Sempat ketahan di dalam kampus, Waktu sudah gelap kita berhasil kabur ke Sumber Waras, naik mobil dari sana.”
“Kenapa bisa pulang ke sini? Teman-temanmu ke mana?”
“Pulang semua, Pak. Posko di Depok sudah berantakan. Dirusak. Khawatir ada salah satu dari kami yang diincar, jadi kami memilih pulang semua dulu.”
Diincar siapa? Gunawan enggan bertanya, melihat Riyadi sudah terlampau lelah.
“Ya, sudah,” sebut Riyadi, “Kamu bersih-bersih terus istirahat. Kalau mau tahu perkembangan di luar nonton TV saja.”
Riyadi patuh. Dia segera mandi dan membereskan diri. Gunawan yakin, melunturkan lelah bersama siraman air akan membuat Riyadi sedikit rileks, dan mungkin akan lebih bisa diajak berdiskusi. Setidaknya Riyadi juga perlu tahu kalau seiring dengan Jakarta yang membara, Ling We Tobacco House ini juga dalam keadaaan genting. Tersebab krisis. Menuju gulung tikar.
###