1999
Adit menepati janjinya pada Mirna. Setelah huru-hara mereda dan anak mereka telah lahir, permintaan Mirna untuk memastikan keberadaan Riyadi pun disanggupi. Di tengah-tengah masa lengang itu, sekitar bulan November 1998, sebenarnya terjadi kembali bentrokan besar dalam aksi mahasiswa di Semanggi. Namun, bayi mereka masih terlalu kecil saat itu, sehingga Mirna dan Adit memilih untuk memantau dari berita-berita yang beredar. Mirna masih berharap Riyadi muncul dalam aksi itu. Bukan sebagai korban, tentu saja.
Tapi nihil. Riyadi seperti hilang ditelan bumi. Jika benar pada kerusuhan Mei itu Riyadi dicari, pastinya dia aktivis yang punya peran besar dalam peristiwa penggulingan rezim kala itu. Maka menjadi harapan yang logis juga kalau dia akan muncul kembali pada peristiwa yang melibatkan pergerakan mahasiswa. Kecuali, jika Riyadi sudah tidak ada.
Memasuki tahun 1999, selepas lebaran, Mirna akhirnya dapat bergeriliya ke beberapa kampus menanyakan kepada para aktivis 98 yang masih tersisa mengenai keberadaan Riyadi. Semuanya tidak tahu. Rekan terdekatnya, termasuk Gesit Gemblung, mengatakan kalau peristiwa Trisakti hingga kejadian di posko Depok merupakan kali terakhir mereka bertemu Riyadi. Sayangnya, karena tak menyangka Riyadi akan pergi pagi itu, Mirna tidak sempat menanyakan tempat tinggal keluarga angkat Riyadi, yang dia sebut menjadi korban penjarahan. Yang membuat siapa pun semakin heran bercampur khawatir adalah tidak (atau belum) adanya nama Riyadi dalam daftar nama-nama orang yang tewas, ditangkap atau pun hilang.
Ditelan bumi?
Bukannya mendapat jawaban, pencarian Mirna dan Adit di Jakarta malah menambah pertanyaan-pertanyaan baru. Juga dapat disimpulkan, di antara semua orang yang mengenalnya, justru Mirna dan Adit adalah pihak terakhir yang ditemui Riyadi sebelum mahasiswa abadi itu menghilang. Atau Pak Hasan si penjaga komplek? Atau (semoga tidak) pria berbadan tegap yang menanyakan sosok Riyadi pagi itu?
Pencarian Mirna berlanjut. Dia mengajak Adit untuk pulang ke kampungnya di Banyumas. Kampungnya bersama Riyadi. Mirna beralasan pada suaminya, mumpung ada waktu sebaiknya mereka pulang kampung menengok keluarga. Khawatir dalam periode mendekati Pemilu suasana negeri bakal ricuh lagi, maka akan tertunda lagi bagi bapak dan ibu Mirna untuk menimang cucunya. Adit mengiyakan.
Namun yang ditemui Mirna sungguh tak pernah dia kira. Niatnya untuk menemui Mbok Sum, ibu Riyadi, terbentur kenyataan bahwa dia sudah tidak di desa itu lagi. Orang-orang desa memberi tahunya bahwa selepas peristiwa kerusuhan bulan Mei di Jakarta, mereka tidak tahu apa hubungannya, Mbok Sum dibawa suaminya pindah dari kampungnya. Bapak Riyadi mengaku mendapat pekerjaan baru di tempat yang baru. Tidak ada yang menjelaskan ke mana tempat baru itu. Bahkan yang masih ada pertalian darah dengan Mbok Sum pun tak menjawab. Entah tidak tahu atau sengaja bungkam.
Mendapat pekerjaan baru di saat kondisi ekonomi begini? Mirna merasa sangsi dengan alasan itu. Dia akan lebih mengerti jika alasan pindahnya suami-istri itu akibat tidak kembalinya anak mereka. Dan benar saja, semua orang di desa mengakui kalau mereka tidak pernah melihat Riyadi pulang.
Riyadi tak pulang. Pasti ini berhubungan.
Namun tanpa petunjuk apa-apa, pencarian itu terpaksa dihentikan. Mirna kembali ke Jakarta bersama keluarga kecilnya. Melanjutkan pekerjaannya dan perannya sebagai ibu. Melanjutkan hidup dengan menggantungkan pertanyaan yang tak akan lekang sebelum terjawab:
Ke mana Mas Yadi menghilang?
###
2007
Mirna cukup beruntung bisa pulang kerja lebih cepat hari ini. Sudah beberapa waktu dia penasaran dengan aksi yang dilakukan sekelompok orang di kawasan Medan Merdeka, Monas, tepat di depan Istana Merdeka. Mirna mendengar dari berbagai kabar bahwa sejak awal tahun aksi tersebut sudah dilakukan rutin setiap kamis sore. Mereka menyebutnya aksi Kamisan. Dilaksanakan oleh orang-orang terdekat para korban dengan satu tujuan: menuntut negara segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran dan kejahatan HAM masa lalu yang belum tuntas. Tentu saja Mirna punya misi tersendiri di sana.
Aksi sudah dimulai kala Mirna sampai di lokasi. Semua orang mengenakan pakaian serba hitam, membawa payung-payung berwarna hitam dan membentangkan kertas atau kain yang bertuliskan berbagai macam tuntutan. Pada masing-masing payung-payung tersebut juga tertera tulisan singkat serta sebuah huruf yang dicantumkan besar-besar. Bila disusun berbaris berurutan, payung-payung itu juga akan menampilkan tuntutan utama aksi Kamisan itu. Beberapa yang lain, Mirna tahu itu dari kalangan pers, sedang mengabadikan setiap momen dari berbagai sudut, serta ada sebagian yang lain tengah melakukan wawancara dengan sejumlah peserta aksi.
Salah satu dari mereka, seorang wanita, memegang megafon di hadapan barisan puluhan massa sambil berorasi. Pasti dia ketuanya. Sungguh Mirna tidak terlalu jelas mendengar kata-katanya, karena pada jarak Mirna berdiri, suara dari megafon sudah lenyap disapu angin sore Medan Merdeka. Masih penasaran, Mirna pun bergerak maju menuju kerumunan massa. Setidaknya, dia ingin merasakan menjadi bagian dari orang-orang yang kehilangan itu. Entah, apakah Mirna berhak merasa begitu.
Berdiri di dekat barisan, Mirna memandangi wajah setiap orang yang ada di sana. Tepat saat orang-orang itu, sesuai instruksi, menyanyikan sebuah lagu perjuangan sambil bertepuk tangan atau mengangkat tangan, pandangan Mirna terpaku pada seseorang yang berdiri mematung di sudut barisan. Dia tidak ikut bernyanyi maupun bertepuk tangan. Benar-benar hanya diam berdiri. Namun tindak-tanduk itulah yang menarik perhatian Mirna kepada wajah yang tak asing itu.
Mengapa dia ada di sini?
Mirna tak begitu yakin pada awalnya. Tentu saja. Belasan tahun wajahnya tak pernah lagi Mirna sua. Perempuan itu lebih kurus (dan lebih tua pastinya) dari sosok ibu muda yang Mirna ingat dari masa remajanya dulu. Rambut putih dan kerutan-kerutan yang diarsir hidup membuatnya tampak menyimpan begitu banyak cerita. Karena tak tahan untuk segera mengusir ragu, Mirna pun berjalan mendekatinya kemudian menyapanya dengan panggilan yang dulu sangat akrab dengannya.
“Mbok Sum?”
Seketika perempuan itu menoleh pada Mirna yang membuatnya yakin bahwa itu memang benar-benar Mbok Sum, ibunya Riyadi. Tentu saja Mbok Sum tak langsung mengenali Mirna.
“Maaf, siapa, ya?” tanyanya.
“Ini Mirna, Mbok. Ingat?”
“Mirna?” Dahi Mbok Sum berkerut, seolah tengah meraba ingat.
“Putrine Bu Rasinah, Pekuncen Lor.” Mirna menyebut nama ibu dan desanya, berharap Mbok Sum akan mengenalinya.
“Ya, Allah ..., Mirna.” Mbok Sum terperanjat kejut, “Pangling aku,” lanjutnya.