Kamis untuk Marsha (Bagian 1)

Cindy Karina
Chapter #5

Rendra: Antagonis di dalam kisahnya

“Beneran, Bu, enggak usah dibawa ke rumah sakit?” ucapku begitu ibu selesai mengamankan Marsha dengan segala pertolongan pertamanya. Karena kamarku yang paling dekat dari pintu masuk, Ibu merawat Marsha di situ.

“Iya, ya? Gimana, ya? Ibu juga bingung!”

“Gimana, sih, Bu? Kalau dehidrasi? Kalau butuh diinfus gimana?”

“Terus dibawanya pake apa? ‘Kan enggak ada mobil!”

“Ya panggil ambula"

Di tengah-tengah perdebatanku dengan Ibu, mata Marsha yang masih terpejam bergerak-gerak. Ia juga mengeluarkan suara yang lirih. Tak lama setelahnya, barulah matanya terbuka. Betul-betul lega dadaku rasanya.

Harus kuakui, hari itu aku melihat Marsha dalam warna yang sangat berbeda. Aku yang tadinya sotoy, mengira dia itu laksana tuan puteri kaya raya dan tanpa masalah, ternyata sedang dilanda sesuatu yang pastinya tak ringan, sampai-sampai nyawanya sendiri jadi taruhan. Rambut sebahunya kini tergerai setengah basah dan tidak dikuncir rapi seperti biasa, mata cokelatnya yang tajam juga kini meredup ditinggal cahaya.   

Marsha juga menarik dirinya mundurhampir seperti terkejutbeberapa detik setelah Ibu memeluknya. Dari bahasa tubuhnya, aku bisa menebak bahwa ia tak biasa merasakan sentuhan, semacam sentuhan sayang dari orang tua kepada anak seperti yang diberikan ibuku padanya.

Namun, masih ada lagi yang lebih parah. Tak sengaja aku menangkap dua (tak hanya satu, tapi dua!) bekas luka yang sepertinya berasal dari sengatan panas api rokok, di pergelangan tangan kirinya. Luka bakar memang selantang itu, ia selamanya akan ada di sana dan pasti bercerita, sepandai apapun sang pemilik mencoba menyembunyikannya. Akhirnya aku tahu mengapa Marsha selalu memakai cardigan berlengan panjang, tak peduli berapapun guru yang sudah menegurnya. Memang tak bisa disamakan, tapi aku punya bekas luka bakar karena knalpot panas di betis kanan, dan hal itu selalu mengingatkanku untuk lebih berhati-hati. Aku tak bisa membayangkan apa yang harus diingat Marsha setiap kali ia melihat bekas lukanya.

Detik itu juga muncul ikrar baru di kepalaku, aku ingin membantu meringankan beban di pundaknya, bagaimanapun caranya.

Aku yang bisa berkomunikasi dengan Ibu tanpa harus bersuara, saling bertukar pandang. Kami membatin hal yang sama. Dengan matanya, Ibu berkata bahwa ia akan keluar dari kamar untuk membiarkan kami berbincang berdua. 

Setelah Ibu keluar, aku memberikan Marsha segelas air putih yang langsung dihabiskannya sekali minum. Melihat ia cukup semangat memulihkan tubuhnya, aku langsung bertanya soal sore tadi. Terang saja ia tak mau menjawabnya. Tak mungkin rasanya anak seperti Marsha bisa langsung membuka diri dalam sekali percobaan.

Saat itulah, tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku. Bagaimana kalau … aku dan Marsha lebih sering menghabiskan waktu bersama? Mungkin dengan cara itu akhirnya aku bisa membantunya, meski sedikit maupun banyak. Mungkin itu satu-satunya cara.

Jika aku terkesan kepo dan banyak tanya, pasti ia akan menjauhiku, jadi, aku harus memikirkan sebuah cara untuk bisa menghabiskan waktu bersama. Sebuah cara yang, tak hanya membantunya mendapatkan teman bicara, tetapi cara yang juga bisa menguntungkanku.

Setelah membuatnya berjanji agar segera menghubungiku jika hal seperti ini terjadi lagi, aku juga membuatnya berjanji untuk makan dulu di rumahku sebelum kuantar pulang. Aku yakin, kombinasi maut semur daging dan wedang jahe buatan Ibu pasti bisa membuat tubuhnya cepat pulih. Kemudian, kusampaikan padanya ide terbaik yang bisa kupikirkan saat itu.

“Bantu aku belajar seminggu sekali buat persiapan beasiswa. Sampai kita lulus.”

Lihat selengkapnya