Is he being serious right now?
Bukannya aku tak bisa menghargai niat baik di dalam kata-kata Rendra, tapi pendapatnya tentang absensiku barusan sungguh tak relevan. Meski sekolah kita sama, tapi pengalaman bersekolah kami jauh berbeda.
"Ya jelas beda kalau bagi kamu, Ndra. Kamu pinter, mantan kapten basket, temenmu juga banyak. Sekolah itu menyenangkan bagi kamu, karena kamu populer!" aku tak menyesal telah sedikit meninggikan suaraku. Semua yang kukatakan adalah fakta.
"Emangnya kamu enggak? Kamu tuh yang terbaik di kelas— enggak cuma di kelas, di sekolah kita, Mar! Kalau Erin dan yang lainnya nyebelin sama kamu, itu cuma karena mereka iri. Enggak usah, lah, terlalu dipikirin."
Aku terdiam, bukan karena kehabisan kata-kata, apalagi tersipu. Aku diam karena, setelah mengesampingkan emosiku, aku baru sadar bahwa ini pertama kalinya Rendra membahas hal di luar pelajaran. Kami pernah lebih dekat dari ini, tapi hanya pada hari di mana insiden pingsan itu terjadi. Setelah 28 kali belajar bersama, tak pernah lagi ia menyenggol ranah kepedulian seperti ini barang sekalipun. Kenapa tiba-tiba?
Aku melepas kontak mata darinya dan lanjut meminum iced green tea latte yang es batunya sudah mulai mencair. Bagi perempuan lain seumuranku, dinasehati oleh seorang teman sudah pasti amatlah wajar, tapi tidak bagiku. Namun sebenarnya aku dulu sudah tak asing dengan kehangatan semacam ini, kehangatan yang mirip dengan milik Kak Ezra sebelum ia berubah menjadi seperti sekarang.
Sikap Rendra mengingatkanku kembali tentang bagaimana rasanya menjadi seorang manusia yang dipedulikan oleh manusia lainnya.
***
Mama meninggal saat aku masih berumur tiga tahun.