Kamis untuk Marsha (Bagian 1)

Cindy Karina
Chapter #9

Rendra: Marsha itu kuat, ia tak membutuhkanku

Aku tak bisa langsung menanggapi pertanyaan Marshayang lebih terdengar seperti tuduhanbarusan. Mungkin Marsha mengira aku marah. Tidak, aku hanya sedih.

Tuduhan Marsha itu benar adanya. Kadang kala, aku merasa bahwa di usia 18 tahun ini sah-sah saja jika aku bergaul dengan kelompok orang yang salah, tapi terkadang, aku juga merasa kalau membawa-bawa usia hanyalah alasan. Buktinya, aku dan Marsha seumuran tapi ia sudah tahu betul siapa dirinya. Pergaulan pun tak pernah jadi soal. Terlepas dari badai yang ia lalui sekarang, Marsha terlihat utuh dan tak pernah keberatan jika tidak memiliki teman. Pertanda ia tak pernah melepaskan identitasnya demi orang lain.

Jadi, siapa yang sebenarnya membutuhkan bantuan di sini? Aku atau dia?

Aku tak akan malu jika ternyata nantinya malah Marsha yang banyak menolongku, aku hanya akan merasa sedih. Aku peduli padanya dan ingin menjadi pemeran penting dalam cerita ini, bukan hanya seorang lelaki yang pernah menyelamatkannya satu kali. Bukan hanya seorang lelaki yang pernah ada pada satu masa di hidupnya, lalu suatu saat ingatannya tentangku pun juga akan tergantikan dengan kenangan lainnya.

Aku mendenguskan napas secara sekedar, lalu memasukkan buku 'Anak Rantau' yang kupinjam dari Mas Zeffri ke dalam tas. Setelahnya, aku mengeluarkan buku kumpulan soal Ilmu Ekonomi dari dalam tas yang sama.

"Udah, yuk, kita mulai aja," kuputuskan untuk kapan-kapan saja menjawab pertanyaan Marsha. Belum waktunya. Semuanya masih terlalu pekat untuk diuraikan.

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tak buta-buta banget mengenai interaksi dengan perempuan. Aku pernah menjalani yang namanya cinta monyet saat SMP. Namanya Aini, teman satu sekolahku yang asli orang Bandung. Tak hanya itu, ehm, perempuan yang menyatakan perasaan atau mengirim-ngirimkan makanan padaku juga ada beberapa, Erin salah satunya. Aku tak pernah paham apa alasan mereka melakukannya, karena Aini pun akhirnya menjauhiku, berkata kalau aku terlalu pendiam, old-school, dan tidak asyik.

Semua itu tak memberikan pelajaran yang kubutuhkan untuk menghadapi Marsha, atau tepatnya, menghadapi perasaanku sendiri.

Dengan Aini dulu, aku langsung tahu kalau aku menyukainya. Sangat berbeda dengan Marsha sekarang. Aku jadi merasa dibohongi oleh Obbie Messakh yang menciptakan lagu 'Kisah Kasih di Sekolah' dengan nada manis dan ringan, membuatku berpikir bahwa menyelami rasa pada masa SMA tak seharusnya serumit ini.


***


Seminggu berlalu, Kamis sore pun datang lagi.

"Woy!"

Bejo mengagetiku dari belakang saat aku keluar kelas setelah bel berbunyi. Sepertinya hanya Bejo satu-satunya anak 18 tahun di dunia yang masih menikmati permainan kaget-kagetan receh semacam ini. Kemudian, tiba-tiba ia menjulurkan kepalanya untuk melihat layar smartphone yang sedang kupegang.

Lihat selengkapnya