Gue biasa dipanggil El, tapi kalau lagi di rumah, emak gue lebih suka manggil gue pake nada teriakan.
"SOOOELIHIIIN!"
Enggak tahu kenapa?
Nama itu kayak punya efek magis. Baru juga rebahan lima menit, langsung disuruh nyapu, jemur, beli bawang, atau gendong galon. Multitalenta, katanya tapi lebih tepat ke arah pengangguran, maksudnya.
Gue anak bungsu. Kakak gue uda menjadi petani sukses di desa, bukan hanya lahan yang luas dia juga memiliki empat teraktor, gayanya kalem, kata tetangga sih "panutan". Sementara gue? Masih sibuk mikirin masa depan sambil ngedit video kucing buat konten Instagram.
Emak bilang, pindah ke desa itu awal yang baru. Tapi, jujur aja awal yang baru ini... bikin sepatu gue rusak, harga diri gue ikut tergelincir di jalan becek, dan satu kampung tau gue jatuh di depan rumah sendiri.
Adaptasi? Susah.
Gue enggak ngerti kode-kode tetangga sini. Kadang senyum mereka bukan senyum ramah, tapi senyum ngetes. Kadang omongan mereka bukan tanya, tapi sindiran level dewa dan di tengah semua kekacauan itu, muncullah Nurul.
Nurul itu… ribet. Ribet karena dia manis, pintar, senyumannya kayak iklan pasta gigi, dan dia... sepupu gue. Iya. Anak dari adik kandung emak gue.
Udah tahu salah, tapi hati gue enggak nurut.
Tiap hari gue mikir, gue ini lagi berjuang ngebangun masa depan, atau malah ngebangun drama keluarga?
Satu hal yang pasti, hidup di desa bukan sekadar tentang sawah dan ayam tetangga. Ini tentang bertahan jadi diri sendiri, sambil pura-pura ngerti kode orang lain, dan berusaha jatuh cinta… tanpa jatuh ke lubang yang salah.
**
Esok hari, secangkir kopi telah diracik dengan sepenuh hati, gue letakkan di meja ruang nonton tipi. Lalu, nyalain rokok, lanjut membuat konten setelahnya uji nasib untuk chattingan sama dia. Tapi sampai kopi udah habis, puntung rokok tiga batang di asbak, belum juga ada balasan.
"Wedon, nek di chat ora tau mbalesi, opo kudu ngechat sarang tawon ae, biar dibalesi?" gerutu gue.
(Wanita, kalau dichat gak pernah balas, apa harus ngechat sarang tawon biar dibales ya?)
Dari sinilah gue nemuin, bahwa kecewa itu bukan dari seseorang, melainkan karena pikiran kita sendiri yang terlalu berlebihan. Terlalu berharap sama apa yang pikiran pengen. Ini jelas masuk kategori ekspektasi nggak sesuai realita!