"Aku pengen liat foto-foto kalian Han," mbak Dewi seperti biasa datang ke kamarku.
"Buka saja, ada di laptop mbak," aku menunjuk ke laptopku yang terletak diatas meja belajar. Mbak Dewi duduk di kursi kemudian melihat foto kami satu persatu.
Mbak Dewi sudah seperti saudari sendiri bagiku. Walaupun kami berasal dari pulau berbeda di Indonesia, di Solo kami tinggal seatap. Melewati hari-hari bersama di kos-kosan, saling berbagi ketika ada makanan, teman curhat yang selalu ada. Menangis dan tertawa bersama.
Mbak Dewi mahasiswa S2 di kampusku, sedangkan aku baru saja menyelesaikan S1-ku. Aku baru saja diwisuda kemarin dulu.
Tari yang bersamaku pergi jalan-jalan kemarin adalah teman kelasku. Kami cukup dekat tetapi karena kos kami letaknya berjauhan, kami hanya bertemu ketika di kelas. Rani adik Tari berkuliah di Surabaya. Sedangkan Siska adikku berkuliah di Malang.
Siska datang ke Solo untuk merayakan wisudaku. Begitu juga Rani datang ke Solo untuk merayakan wisuda Tari, kakaknya.
Beberapa teman kami yang hobi pesta, mengadakan pesta kelulusan. Aku dan Tari memilih jalan-jalan untuk merayakannya.
Dari pada cuma jalan-jalan di mal atau menonton bioskop yang biasa kami lakukan setiap sabtu atau minggu, kami lebih memilih untuk jalan-jalan menuju tempat wisata.
Tempat wisata di kota Solo dan sekitarnya sudah hampir semua aku kunjungi. Keraton Surakarta, Pandawa Water World, Taman Sriwedari, Benteng Vastenburg adalah beberapa dari sekian tempat wisata kota Solo yang sudah kudatangi sebelumnya.
Aku sudah empat tahun berada di kota Solo. Tiga atau empat bulan sekali aku mengajak teman-temanku pergi ke tempat wisata. Terkadang teman kos, tak jarang juga beberapa teman kelas pernah aku ajak jalan.
Mumpung sedang berada di Jawa aku ingin menampung sebanyak-banyaknya cerita yang nanti akan aku bawa pulang ketika aku kembali ke daerah asalku.
Setelah sepakat dengan Tari, kami memilih pergi lebih jauh sedikit ke timur, menuju kabupaten Karanganyar.
Mbak Dewi tidak ikut karena sedang ada kuliah. Di kampus juga mbak Dewi punya banyak kegiatan. Dia mengikuti berbagai organisasi mahasiswa, aku kadang tidak mengerti bagaimana cara dia membagi waktu karena dia bekerja juga di sebuah kantor swasta di kota Solo.
"Foto kalian bagus-bagus, aku nyesel nggak ikut," komentar mbak Dewi
"Mbak kan lagi kuliah," sahutku
"Iya sih," jawab mbak Dewi. "Grojogan Sewu kayaknya ramai terus yaa, aku tiap kali lihat foto orang disana kok banyak terus manusianya," lanjut mbak dewi sembari melihat beberapa video yang aku buat di Grojogan Sewu.
"Iya mbak, emang ramai terus kayaknya. Tapi mungkin karena kami tiba di sana agak siang ya, kalau pagi jam delapan atau sembilan pagi mungkin belum seramai itu," jawabku.
Aku uringan-uringan di tempat tidur, tidak bisa tidur. Mungkin karena belum jam tidurku, walaupun kecapekan aku belum bisa terlelap. Siska yang tidur di sebelahku sudah nyenyak sedari tadi.
"Ini Candi jarang diketahui orang ya,? aku baru lihat" mbak Dewi mulai melihat-lihat foto kami di candi Cetho.
"Iya mbak, makanya kemarin kami pilih ke sana biar tau seperti apa dalamnya"
Mbak Dewi terus melihat-lihat semua foto di candi Cetho dan candi Kethek. Setiap bangunan dan peninggalan bersejarah yang tertangkap kamera, sepertinya dia penasaran.
"Aku kesana nanti ah," kudengar mbak Dewi bergumam.
Aku hanya tersenyum dibalik selimut, benar dugaanku. Mbak Dewi terus saja melihat-lihat, tidak satu pun luput dari penglihatannya.
"Kalian kesini juga?," mbak Dewi mulai melihat foto kami di pemakaman.
"Iya mbak, karena masih ada sisa waktu kami setuju aja ketika disarankan pak sopir kesitu," jawabku.
"Oh," mbak Dewi menyahut sepotong.
Dia melihat-lihat dengan cepat. Tidak seperti melihat foto-foto sebelumnya. Terlihat kurang tertarik.
Aku terus mangamatinya dari pembaringanku. Dia seperti tidak mau melihat tetapi karena sudah di depan mata, ya sudah dilihatnya saja. Begitu kira-kira dugaanku.
"Nglurug Tanpa Bala, Sugih Ora Nyimpen". Kudengar mbak Dewi bergumam. "Apa iya?," lanjutnya terus menatap tajam foto terakhir kami di pemakaman itu.
Aku tidak berkomentar.
"Hana, kamu tahu nggak ini artinya apa?," mbak Dewi tiba-tiba 'nyolot'. Aku sedikit kaget.
"Tahu mbak, kan ada terjemahannya tuh," jawabku pelan.
"Bisa-bisanya nulis seperti ini, masih 'pede' ya? itu ratusan pasukan milik siapa?," mbak Dewi mulai mengomel.