Surabaya, Maret 1996
"Dian, kamu dipanggil ke belakang," seru Shinta dari pintu tengah.
Aku berjalan mengikutinya. Setelah beberapa pertimbangan aku memutuskan untuk bergabung dengan Shinta dan kelompoknya. Aku tidak bisa lagi hanya duduk pasrah menyaksikan gejolak di sekitarku.
Mas Agung, Mas Endro, Ilham, dan Thomas. Shinta memperkenalkan anggota mereka satu-persatu, sebenarnya tak perlu dikenalkan karena aku sudah tahu siapa mereka. Sebelum bertemu mereka aku sudah terlebih dahulu mencari tahu informasi tentang kelompok mereka. Tidak sulit karena kami semua berkuliah di kampus yang sama.
Mas Agung adalah ketua kelompok mereka, tidak pernah ditunjuk menjadi ketua akan tetapi dia selalu jadi tempat mereka meminta pertimbangan. Dijadikan acuan setiap kali mereka ingin melakukan sesuatu. Mas Agung mahasiswa fakultas Ekonomi semester enam.
Mas Endro adalah kakak kandung Shinta, mahasiswa fakultas Teknik semester enam. Ilham dan Thomas adalah mahasiswa semester empat seperti aku dan Shinta tetapi mereka di fakultas Hukum sedangkan kami di fakultas Ilmu Pendidikan.
Empat lelaki itu sibuk dengan 'proyek' mereka, mencari berita terkait pemerintah dalam urusan ekonomi dan berbagai pengaruhnya.
Dari merekalah aku banyak tahu keadaan Indonesia saat ini, berbeda dengan yang disiarkan di televisi. Pemerintah memegang kendali berbagai media, sehingga yang diberitakan di media hanya yang baik-baiknya saja.
Indonesia sudah berhasil melewati krisis ekonomi global. Ekonomi Indonesia bertumbuh dengan pesat, salah satu tahun terbaik perekonomian Indonesia dibanding sebelumnya.
Bank Dunia memasukkan Indonesia ke dalam "The East Asian Miracle". Dalam publikasi Bank Dunia, Indonesia termasuk dalam kelompok elit "High Performing Asian Economies" (HPAEs).
Pendapatan perkapita menjadi dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Pencapaian itu mengurangi kemiskinan dan perbedaan pendapatan.
Selain itu, pertumbuhan ekspor indonesia lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Upaya mengurangi ketergantungan pada minyak juga berhasil dilakukan. Pada saat yang sama, investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri meningkat pesat.
Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata yang terjadi adalah ekonomi Indonesia memang bertumbuh pesat, akan tetapi tumbuh seperti gelembung yang bisa pecah kapan saja. Pertumbuhan ekonomi disertai laju inflasi yang tinggi.
Ekonomi Indonesia terlalu cepat memanas alias overheated. Akibatnya lahirlah berbagai gebrakan dan kebijakan pemerintah, untuk menstabilkan keadaan.
Pendapatan perkapita masyarakat Indonesia memang lebih tinggi tetapi belum ada budaya menabung yang kuat alias masih konsumtif. Selain itu, biaya pembangunan nasional yang tinggi dan terbatasnya infrastruktur menjadi beberapa faktor penyebab ekonomi Indonesia cepat mengalamai overheated.
Tata kelola perbankan juga masih lemah. Kondisi ekonomi yang baik, menyebabkan likuiditas mengalir deras. Likuiditas menjadi semakin berlebih dan akan jadi bumerang di kemudian hari jika tidak ada prinsip kehati-hatian.
Selain itu, pemerintah memberikan privilese kepada keluarga dan orang-orang terdekat mereka. Banyak proyek nasional hanya diberikan kepada anak dan kolega mereka. Masyarakat tahu ada banyak KKN terjadi, tetapi pemerintahan yang otoriter membuat masyarakat tidak mampu melawan.
Suara masyarakat dibungkam, lawan politik diperlakukan bagai musuh. Aktivis dicap mengganggu keamanan bangsa dan mengancam Pancasila. Tidak boleh ada pembentukan partai baru di negara yang katanya Demokrasi.
Keadaan indonesia sebenarnya sangat memprihatinkan, tetapi ditutup oleh berita yang baik-baik tentang pemerintah. Pemberian subsidi yang sebenarnya hanya untuk 'menyogok' rakyat. Korupsi tidak hanya dalam bentuk uang tetapi juga jabatan, pemerintahan 'mereka' sudah berjalan selama 30 tahun. Seolah-olah tidak ada orang lain yang bisa memimpin negeri ini.
***
Surabaya, September 1996
"Sendirian dek?," tanya Mas Agung ketika aku baru tiba di 'markas' kami.
"Iya kak, mungkin Shinta nyusul ntar lagi," jawabku. Aku meletakkan tasku di atas sebuah bangku kosong. "Mas Endro, Thomas dan Ilham belum datang yaa?," lanjutku.
"Belum, kita ngobrol berdua aja dulu yaa," kata mas Agung lagi.
"Oke, mas." Aku langsung menyetujui, karena ada suatu hal yang ingin aku tanyakan kepada Mas Agung.
"Kak, aku boleh tanya sesuatu?," tanyaku berusaha sopan dan tidak mengganggu kesibukannya. Aku duduk berhadapan dengan mas Agung di ruangan yang biasa kami gunakan untuk pertemuan.