KAMU

Savana Radiani
Chapter #5

Surabaya Tahun 1998

20 Februari 1998.

"Kamu sudah dengar berita kehilangan?," mas Endro bertanya kepadaku.

"Belum mas, siapa yang hilang?" tanyaku.

"Beberapa aktivis," jawab mas Endro.

"Mas dengar dari mana?" aku masih tidak percaya.

"Ada beritanya di televisi," jawab mas Endro.

Beberapa stasiun televisi swasta, sudah tidak mau patuh lagi pada pemerintah. Mereka kini memberitakan kejadian yang sebenar-benarnya di lapangan.

Aku segera mengambil remot dan menyalakan televisi. Setelah sekian lama kami mematikan televisi di rumah ini, muak karena televisi hanya membeo pada pemerintah, hari ini kami mulai membukanya kembali.

Aku mendengar pintu depan terbuka, Ilham dan Thomas datang bersamaan. Mereka langsung ikut nimbrung mendengarkan berita dari televisi.

Empat nama aktivis disebutkan dengan lantang sebagai daftar orang-orang yang hilang.

Shinta datang dari dapur membawa tiga gelas kopi, dia letakkan nampan di meja kemudian ikut menonton berita.

Keadaan di ibukota semakin memprihatinkan. Demo mahasiswa makin sering terjadi. Bahkan bukan hanya mahasiswa lagi yang berdemo, masyarakat umum juga ikut turun ke jalanan.

Mas Endro mengambil segelas kopi dan mulai meneguknya. Thomas yang melihat hanya ada dua gelas kopi diatas meja, mulai memprotes kepada Shinta.

"Shin, itu satunya buat aku kan?," tanya Thomas.

"Hus, diam. Pergi bikin sendiri sana di dapur," jawab Shinta.

Aku hanya tersenyum. Kedua makhluk ini seperti kucing dan tikus, selalu saja berantem tiap kali bertemu.

Aku dan Shinta cepat-cepat meraih gelas kopi sebelum diambil Thomas.

Ilham hanya menggeleng-geleng kepala melihat kelakuan kami, dia menuju dapur untuk 'bikin' kopi.

"Itu Ilham pergi bikin sendiri," sahut Shinta.

"Kamu gitu sama aku ya Shin," gumam Thomas sambil beranjak ke dapur.

"Rasainn, anak laki-laki di rumah ini memang harus dilatih mandiri. Cuma mas Agung, yang nggak pernah mau nyusahin orang. Kenapa harus selalu kita perempuan yang di dapur?," gerutu Shinta.

Kami kembali fokus ke televisi. Semua berita sama saja antara stasiun yang satu dengan yang lain. Seputar demo, bencana alam dan kenaikan harga bahan pokok yang semakin mencekik. Kini ditambah berita kehilangan, semakin menambah keresahan di tengah masyarakat.

Kuletakkan kembali remot di atas meja, sepertinya tidak ada berita yang 'enak' didengar hari ini.

Ilham dan Thomas datang dari dapur bersamaan dengan pintu depan yang kembali dibuka.

Mas Agung datang. Dia baru pulang dari tempat kerjanya, dia kini sudah bekerja di salah satu kantor swasta.

Kantor mereka juga terkena imbas krisis moneter walaupun tidak sebanyak kantor-kantor besar. Mungkin karena kredit mereka di bank sudah lunas dan pegawai kantor mereka terbilang sedikit.

Dia meletakkan tasnya di lantai bersandar ke dinding, kemudian datang duduk di sebelahku. Kami semua menghadap ke meja TV.

Aku tersenyum kepadanya. Rindu sekali aku pada pria ini. Kami jarang bertemu dua bulan terakhir, dia sibuk bekerja aku sibuk menyelesaikan skripsiku.

Dia meraih telapak tangan kiriku dan menggenggamnya.

"Tambah satu lagi aktivis yang diculik ya Ndro?," tanya mas Agung sambil menoleh ke mas Endro.

"Apa iya?," balas mas Endro sepertinya belum tahu juga berita terbaru itu.

"Iya, barusan aku dapat beritanya di jalan pulang. Coba buka RCTI," kata mas Agung.

Mas Endro segera meraih remot di atas meja dan membuka RCTI. Benar saja, tambah satu nama lagi di daftar orang yang hilang.

Kami semua menghela nafas gusar, keadaan semakin hari semakin menakutkan. Kekuatan 'mereka' tidak patah arang berhadapan dengan kekuatan 'sesungguhnya' yaitu masyarakat umum. Mereka masih merasa bisa 'merengkuh' manusia dari sabang sampai merauke.

"Mungkin mereka sedang pergi berdialog dengan MPR," sahut Shinta.

"Kamu itu antara polos dan bodoh Shin," balas Thomas.

Aku hanya melihat kedua manusia itu terus bertengkar tiada henti. Tetapi pertengkaran mereka menjadi hiburan diantara berita buruk yang kami dengar dari televisi hari ini.

Aku berniat melepaskan genggaman tangan mas Agung dan hendak berdiri perlahan dari kursi. Tetapi genggaman itu ternyata begitu kuat.

"Mau kemana kamu?," tanya mas Agung.

"Bikin kopi buat kamu," jawabku.

"Sudah, biar aku bikin sendiri". Dia melepaskan genggaman dan beranjak ke dapur.

Aku sudah bosan melihat berita. Semakin kulihat, semakin tercabik-cabik rasanya sanubariku.

Tetapi lelaki itu tidak ingin aku pergi ke dapur. Dia selalu seperti itu, tidak ingin membebankanku dengan tugas-tugas khas perempuan selama dia bisa melakukannya sendiri.

Dulu ketika kami masih sering makan bareng di rumah ini, dia tidak membiarkanku mencuci piring.

"Kamu sudah memasak, biar aku saja yang cuci piring," begitu selalu katanya. Mungkin karena dia sudah dididik begitu oleh ibunya sejak kecil, sehingga dia terus membawa kebiasaan itu sampai sekarang. Berbagi segala pekerjaan rumah.

Dia datang dari dapur dan kembali duduk di sebelahku dengan segelas kopi di tangannya.

Kami berenam kembali berkutat dengan berita di televisi. Aku sudah muak sebenarnya, tetapi apa yang bisa kulakukan?

Lihat selengkapnya